Murah Hati - Kindness
Seorang sopir taksi di Malaysia kaget sekali ketika selesai mengantar seorang Pendeta dari KL International Airport ke rumahnya, dia menerima uang tip sebesar Ringgit Malaysia (MYR) 50 dari pendeta itu.
"Wow, thank you very much, Sir!"
Di kali lain, pendeta yang sama memberikan uang sejumlah MYR 500 kepada seorang gadis, padahal gadis itu tidak minta sesuatu kepada sang pendeta. Belakangan gadis itu menulis surat menyatakan terima kasihnya. "Pastor David, saya sangat berterima kasih, karena bapak telah memberikan berkat sebanyak MYR 500 tempo hari. Dengan uang itu saya bisa pulang kampung di Vietnam untuk menjenguk mama saya yang sedang sakit. Tanpa pemberian uang itu, mungkin saya tidak akan bisa merawat mama. Terima kasih dan Tuhan memberkati bapak."
Saya ingat, beberapa tahun yang lalu bapak pendeta yang sama, memberikan semua "love gift", uang yang diterimanya atas pelayanannya di Jakarta, lebih dari MYR 1,000 kepada seorang Ibu. "Untuk Michael, anakmu." katanya pada waktu itu.
Pendeta yang satu ini memang dikenal murah hati. Banyak orang yang telah ditolongnya. Dia telah menjadi saluran berkat Tuhan. Karena sering memberi, tidaklah mengherankan jika pendeta ini terbiasa banyak diberi. Dia banyak diberi tanpa meminta-minta atau mengemis-ngemis atau memberi sinyal butuh dana (seperti minta didoakan tentang proyek pelayanan ini atau itu). Tidak, dia murah hati tanpa pamrih.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
kesaksian hidup - #inspiring story - #kisah nyata - #mukjizat kehidupan - #sign and wonders - #miracles - inspirational christian story - nice story - true story - inspirational touching story - an amazing story: kisah orang biasa dengan pengalaman luar biasa - ordinary people living the extra-ordinary lives
Search This Blog
Showing posts with label Kebaikan - Kindness. Show all posts
Showing posts with label Kebaikan - Kindness. Show all posts
Wednesday, June 6, 2012
Wednesday, April 11, 2012
Nilai Seikat Kembang - The Value of a Bouquet
Nilai Seikat Kembang
Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum. Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata, "Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!"
Penjaga kuburan itu menganggukan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.
Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata, "Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."
"O, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan kembang, tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.
"Apa, maaf?" tanya wanita itu dengan gusar.
"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh kembang itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang. Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman kembang-kembang itu, Nyonya," jawab pria itu.
Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.
Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.
"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny . Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal.
Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia.
Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"
Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri akan membuat kita terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain, ...... sesungguhnya kita menolong diri sendiri.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum. Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata, "Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!"
Penjaga kuburan itu menganggukan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.
Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata, "Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."
"O, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan kembang, tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.
"Apa, maaf?" tanya wanita itu dengan gusar.
"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh kembang itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang. Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman kembang-kembang itu, Nyonya," jawab pria itu.
Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.
Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.
"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny . Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal.
Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia.
Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"
Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri akan membuat kita terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain, ...... sesungguhnya kita menolong diri sendiri.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Saturday, March 3, 2012
Kebaikan - Kindness
KEBAIKAN
Mari kita simak kisah yang diceritakan Kukuh Nirmala di bawah ini:
Suatu hari saya naik angkutan kota dari Darmaga menuju Terminal Baranangsiang - Bogor, dan pengemudi angkot tersebut seorang anak muda. Di dalam angkot duduk 7 penumpang (termasuk saya) dan masih ada 5 kursi yang belum terisi.
Di tengah jalan, angkot-angkot salib-menyalib untuk berebut penumpang. Di depan angkot yang kami tumpangi, ada seorang ibu dengan 3 orang anak remaja berdiri di tepi jalan. Tiap ada angkot yang berhenti di hadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada supir angkot, lalu angkot itu melaju kembali.
Kejadian ini terulang beberapa kali dan ketika angkot yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya, "Dik, lewat terminal bis ya?" dan sang supir menjawab, "Ya!"
Namun anehnya, ibu tidak segera naik dan berkata, "tapi saya dan ketiga anak saya tidak punya ongkos!"
Sambil tersenyum, supir itu menjawab, "Nggak apa-apa Bu, naik saja!" Ketika si Ibu tampak ragu-ragu, supir mngulangi perkataannya, "Ayo bu! Naik saja, nggak apa-apa!"
Saya terpesona dengan kebaikan supir angkot yang masih muda itu, karena di saat jam sibuk dan saat angkot-angkot lainnya saling berlomba untuk mencari penumpang, supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk ibu dan ketiga anaknya tersebut.
Ketika sampai di terminal bis, empat penumpang gratisan tersebut turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada supir dan di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang Rp 20 ribuan.
Ketika supir hendak memberikan uang kembalian (ongkos angkot hanya Rp 4.000,-), pria tersebut berkata bahwa uang itu untuk ongkos dirinya dan keempat penumpang gratisan tadi.
"Terus jadi orang baik ya, Dik!", kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu
Sore itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil yang saya lihat.
Seorang ibu miskin yang jujur, seorang supir yang baik hati dan seorang penumpang yang budiman; mereka saling mendukung untuk kebaikan.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Mari kita simak kisah yang diceritakan Kukuh Nirmala di bawah ini:
Suatu hari saya naik angkutan kota dari Darmaga menuju Terminal Baranangsiang - Bogor, dan pengemudi angkot tersebut seorang anak muda. Di dalam angkot duduk 7 penumpang (termasuk saya) dan masih ada 5 kursi yang belum terisi.
Di tengah jalan, angkot-angkot salib-menyalib untuk berebut penumpang. Di depan angkot yang kami tumpangi, ada seorang ibu dengan 3 orang anak remaja berdiri di tepi jalan. Tiap ada angkot yang berhenti di hadapannya, dari jauh kami bisa melihat si ibu bicara kepada supir angkot, lalu angkot itu melaju kembali.
Kejadian ini terulang beberapa kali dan ketika angkot yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya, "Dik, lewat terminal bis ya?" dan sang supir menjawab, "Ya!"
Namun anehnya, ibu tidak segera naik dan berkata, "tapi saya dan ketiga anak saya tidak punya ongkos!"
Sambil tersenyum, supir itu menjawab, "Nggak apa-apa Bu, naik saja!" Ketika si Ibu tampak ragu-ragu, supir mngulangi perkataannya, "Ayo bu! Naik saja, nggak apa-apa!"
Saya terpesona dengan kebaikan supir angkot yang masih muda itu, karena di saat jam sibuk dan saat angkot-angkot lainnya saling berlomba untuk mencari penumpang, supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk ibu dan ketiga anaknya tersebut.
Ketika sampai di terminal bis, empat penumpang gratisan tersebut turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada supir dan di belakang ibu itu, seorang penumpang pria turun lalu membayar dengan uang Rp 20 ribuan.
Ketika supir hendak memberikan uang kembalian (ongkos angkot hanya Rp 4.000,-), pria tersebut berkata bahwa uang itu untuk ongkos dirinya dan keempat penumpang gratisan tadi.
"Terus jadi orang baik ya, Dik!", kata pria tersebut kepada sopir angkot muda itu
Sore itu saya benar-benar dibuat kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil yang saya lihat.
Seorang ibu miskin yang jujur, seorang supir yang baik hati dan seorang penumpang yang budiman; mereka saling mendukung untuk kebaikan.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Friday, February 17, 2012
Kemuliaan Hati
KEMULIAAN HATI
Sepasang suami-isteri beruntung mendapatkan tiket untuk kembali ke rumah orangtuanya di kampung. Ketika naik bus, ternyata telah ada seorang wanita duduk di tempat duduk mereka. Inilah cerita si isteri:
Suami memintaku duduk dulu di samping wanita itu, namun tidak meminta wanita ini berdiri. Ketika kuperhatikan, ternyata kaki wanita itu cacat, barulah aku tahu kenapa suamiku memberikan tempat duduknya.
Suamiku terus berdiri dari Jiayi sampai Taipei.
Dari awal, dia tidak ada memberi tanda kalau itu adalah tempat duduknya.
Setelah turun dari bus, aku berkata pada suamiku:
“Memberikan tempat duduk pada orang yang butuh memang baik, namun pertengahan perjalanan 'kan boleh memintanya berdiri agar gantian kamu yang duduk”
Suamiku menjawab, “Orang lain sudah tidak nyaman seumur hidup, aku hanya kurang nyaman selama 3 jam saja.”
Mendengar perkataan ini, aku sangat terharu karena suamiku sedemikian baik. Namun suamiku tidak mau orang lain tahu akan kebaikannya, dan itu membuat diriku merasakan dunia ini penuh dengan kehangatan.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Sepasang suami-isteri beruntung mendapatkan tiket untuk kembali ke rumah orangtuanya di kampung. Ketika naik bus, ternyata telah ada seorang wanita duduk di tempat duduk mereka. Inilah cerita si isteri:
Suami memintaku duduk dulu di samping wanita itu, namun tidak meminta wanita ini berdiri. Ketika kuperhatikan, ternyata kaki wanita itu cacat, barulah aku tahu kenapa suamiku memberikan tempat duduknya.
Suamiku terus berdiri dari Jiayi sampai Taipei.
Dari awal, dia tidak ada memberi tanda kalau itu adalah tempat duduknya.
Setelah turun dari bus, aku berkata pada suamiku:
“Memberikan tempat duduk pada orang yang butuh memang baik, namun pertengahan perjalanan 'kan boleh memintanya berdiri agar gantian kamu yang duduk”
Suamiku menjawab, “Orang lain sudah tidak nyaman seumur hidup, aku hanya kurang nyaman selama 3 jam saja.”
Mendengar perkataan ini, aku sangat terharu karena suamiku sedemikian baik. Namun suamiku tidak mau orang lain tahu akan kebaikannya, dan itu membuat diriku merasakan dunia ini penuh dengan kehangatan.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Tuesday, February 14, 2012
Duty Calls - Panggilan Tugas
PANGGILAN TUGAS
Seorang dokter memasuki rumah sakit dengan terburu-buru setelah ditelpon untuk menangani operasi darurat. Dia telah menanggapi telp itu secepat mungkin, bergegas ganti pakaian dan pergi menuju rumah sakit langsung ke blok ruang operasi. Ia mendapati ayahnya anak yang kecelakaan itu, yang sedang berjalan mondar mandir di gang depan ruang operasi menunggu dengan tak sabar kedatangan sang dokter.
Begitu sang ayah melihat kedatangan dokter, dia berteriak, "Mengapa anda sedemikian lama datang ke sini? Tidak tahukah nyawa anak saya sedang ada dalam bahaya? Apakah anda tidak punya rasa tanggung jawab?"
Dokter itu tersenyum dan berkata, "Maafkan saya, saya tadi tidak ada di rumah sakit dan saya telah berusaha sampai kesini secepat mungkin setelah saya terima panggilan telpon... Dan sekarang, saya harap bapak tenang saja sehingga saya dapat melaksanakan tugas saya."
"Tenang? Bagaimana kalau anak lelaki anda ada di ruang operasi sekarang, apakah anda akan tenang? Bagaimana kalau anak lelaki anda mati sekarang, apakah anda akan tenang?" sahut sang ayah dengan marah.
Dokter itu tersenyum lagi dan menjawab, "Saya akan katakan apa yang Ayub katakan di dalam Alkitab 'Dari tanah kita berasal dan kepada tanah kita akan kembali, terpujilah nama Tuhan'. Para dokter tidak dapat memperpanjang umur. Pergilah dan berdoalah bagi anak lelaki anda, kami para dokter akan melakukan apa yang terbaik dengan kasih karunia dari Tuhan."
"Memberi nasihat sewaktu tidak ada urusan dengan kita itu memang gampang sekali." gumam sang ayah.
Pembedahan terhadap anak itu perlu beberapa jam dan setelah itu sang dokter keluar ruang operasi dengan senang.
"Syukurlah! Anak anda telah selamat!" Dan tanpa menunggu jawaban sang ayah, dokter itu segera bergegas pergi sambil berkata, "Jika ada pertanyaan, tolong sampaikan kepada perawat!"
"Kenapa dokter itu demikian sombong? Kenapa dia tidak menunggu beberapa menit sehingga saya dapat menanyakan keadaan anak saya?" kata sang ayah kepada perawat segera setelah dokter berlalu.
Sang perawat menjawab seraya airmatanya mengalir di wajahnya, "Anaknya meninggal kemarin karena kecelakaan di jalan raya. Dokter itu sedang di rumah duka ketika kami menelponnya untuk mengoperasi anak anda. Dan sekarang dokter itu telah menyelamatkan anak anda, dia segera kembali untuk acara pemakaman."
JANGAN PERNAH MENGHAKIMI siapapun karena kita tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupan orang lain atau apa yang sedang dialami orang itu.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
******
DUTY CALLS
A doctor entered the hospital in hurry after being called in for an urgent surgery. He answered the call as soon as possible, changed his clothes and went directly to the surgery block. He found the boy’s father going and coming in the hall waiting for the doctor. Once seeing him, the dad yelled, “Why did you take all this time to come? Don’t you know that my son’s life is in danger? Don’t you have the sense of responsibility?”
The doctor smiled and said, “I am sorry, I wasn’t in the hospital and I came the fastest I could after receiving the call…… And now, I wish you’d calm down so that I can do my work.”
“Calm down?! What if your son was in this room right now, would you calm down? If your own son dies now what will you do??” said the father angrily
The doctor smiled again and replied: “I will say what Job said in the Holy Book “From dust we came and to dust we return, blessed be the name of God”. Doctors cannot prolong lives. Go and intercede for your son, we will do our best by God’s grace.”
“Giving advice when we’re not concerned is so easy,” murmured the father.
The surgery took some hours after which the doctor went out happy.
“Thank goodness! Your son is saved!” And without waiting for the father’s reply he carried on his way running. “If you have any question, ask the nurse!!”
“Why is he so arrogant? He couldn’t wait some minutes so that I ask about my son’s state” commented the father when seeing the nurse minutes after the doctor left.
The nurse answered, tears coming down her face: “His son died yesterday in a road accident, he was in the burial when we called him for your son’s surgery. And now that he saved your son’s life, he left running to finish his son’s burial.”
NEVER JUDGE ANYONE BECAUSE You never know how their life is or as to what is happening or what they’re going through. Just think ABOUT this moment.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Notes:
Terima kasih atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" dari Ibu Nancy di Bandung dan Bapak Simarmata di Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Buku pesanan sudah dikirim dengan pos kilat khusus hari ini. Semoga buku tersebut menjadi berkat.
Seorang dokter memasuki rumah sakit dengan terburu-buru setelah ditelpon untuk menangani operasi darurat. Dia telah menanggapi telp itu secepat mungkin, bergegas ganti pakaian dan pergi menuju rumah sakit langsung ke blok ruang operasi. Ia mendapati ayahnya anak yang kecelakaan itu, yang sedang berjalan mondar mandir di gang depan ruang operasi menunggu dengan tak sabar kedatangan sang dokter.
Begitu sang ayah melihat kedatangan dokter, dia berteriak, "Mengapa anda sedemikian lama datang ke sini? Tidak tahukah nyawa anak saya sedang ada dalam bahaya? Apakah anda tidak punya rasa tanggung jawab?"
Dokter itu tersenyum dan berkata, "Maafkan saya, saya tadi tidak ada di rumah sakit dan saya telah berusaha sampai kesini secepat mungkin setelah saya terima panggilan telpon... Dan sekarang, saya harap bapak tenang saja sehingga saya dapat melaksanakan tugas saya."
"Tenang? Bagaimana kalau anak lelaki anda ada di ruang operasi sekarang, apakah anda akan tenang? Bagaimana kalau anak lelaki anda mati sekarang, apakah anda akan tenang?" sahut sang ayah dengan marah.
Dokter itu tersenyum lagi dan menjawab, "Saya akan katakan apa yang Ayub katakan di dalam Alkitab 'Dari tanah kita berasal dan kepada tanah kita akan kembali, terpujilah nama Tuhan'. Para dokter tidak dapat memperpanjang umur. Pergilah dan berdoalah bagi anak lelaki anda, kami para dokter akan melakukan apa yang terbaik dengan kasih karunia dari Tuhan."
"Memberi nasihat sewaktu tidak ada urusan dengan kita itu memang gampang sekali." gumam sang ayah.
Pembedahan terhadap anak itu perlu beberapa jam dan setelah itu sang dokter keluar ruang operasi dengan senang.
"Syukurlah! Anak anda telah selamat!" Dan tanpa menunggu jawaban sang ayah, dokter itu segera bergegas pergi sambil berkata, "Jika ada pertanyaan, tolong sampaikan kepada perawat!"
"Kenapa dokter itu demikian sombong? Kenapa dia tidak menunggu beberapa menit sehingga saya dapat menanyakan keadaan anak saya?" kata sang ayah kepada perawat segera setelah dokter berlalu.
Sang perawat menjawab seraya airmatanya mengalir di wajahnya, "Anaknya meninggal kemarin karena kecelakaan di jalan raya. Dokter itu sedang di rumah duka ketika kami menelponnya untuk mengoperasi anak anda. Dan sekarang dokter itu telah menyelamatkan anak anda, dia segera kembali untuk acara pemakaman."
JANGAN PERNAH MENGHAKIMI siapapun karena kita tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupan orang lain atau apa yang sedang dialami orang itu.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
******
DUTY CALLS
A doctor entered the hospital in hurry after being called in for an urgent surgery. He answered the call as soon as possible, changed his clothes and went directly to the surgery block. He found the boy’s father going and coming in the hall waiting for the doctor. Once seeing him, the dad yelled, “Why did you take all this time to come? Don’t you know that my son’s life is in danger? Don’t you have the sense of responsibility?”
The doctor smiled and said, “I am sorry, I wasn’t in the hospital and I came the fastest I could after receiving the call…… And now, I wish you’d calm down so that I can do my work.”
“Calm down?! What if your son was in this room right now, would you calm down? If your own son dies now what will you do??” said the father angrily
The doctor smiled again and replied: “I will say what Job said in the Holy Book “From dust we came and to dust we return, blessed be the name of God”. Doctors cannot prolong lives. Go and intercede for your son, we will do our best by God’s grace.”
“Giving advice when we’re not concerned is so easy,” murmured the father.
The surgery took some hours after which the doctor went out happy.
“Thank goodness! Your son is saved!” And without waiting for the father’s reply he carried on his way running. “If you have any question, ask the nurse!!”
“Why is he so arrogant? He couldn’t wait some minutes so that I ask about my son’s state” commented the father when seeing the nurse minutes after the doctor left.
The nurse answered, tears coming down her face: “His son died yesterday in a road accident, he was in the burial when we called him for your son’s surgery. And now that he saved your son’s life, he left running to finish his son’s burial.”
NEVER JUDGE ANYONE BECAUSE You never know how their life is or as to what is happening or what they’re going through. Just think ABOUT this moment.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Notes:
Terima kasih atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" dari Ibu Nancy di Bandung dan Bapak Simarmata di Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Buku pesanan sudah dikirim dengan pos kilat khusus hari ini. Semoga buku tersebut menjadi berkat.
Saturday, December 10, 2011
Pay It Forward
PAY IT FORWARD
Saat terlintas keraguan apakah mungkin perbuatan baik yang kecil dan sederhana yang kita lakukan kepada orang lain akan mampu mempengaruhi kehidupan mereka, mungkin Film "PAY IT FORWARD" bisa menjadi pendorong yang memberikan kita semangat untuk selalu tidak jemu-jemu berbuat baik kepada orang lain.
Kisahnya bercerita tentang seorang anak umur delapan tahun bernama Trevor yang berpikir jika dia melakukan kebaikan kepada tiga orang disekitarnya, lalu jika ke tiga orang tersebut meneruskan kebaikan yang mereka terima itu dengan melakukan kepada tiga orang lainnya dan begitu seterusnya, maka dia yakin bahwa suatu saat nanti dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang saling mengasihi. Dia menamakan ide tersebut: "PAY IT FORWARD"
Singkat cerita, Trevor memutuskan bahwa tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen adalah mamanya sendiri (yang menjadi single parent), seorang pemuda gembel yang selalu dilihatnya di pinggir jalan dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok anak-anak nakal.
Percobaanpun dimulai :
Trevor melihat bahwa mamanya yang sangat kesepian, tidak punya teman untuk berbagi rasa, telah menjadi pecandu minuman keras. Trevor berusaha menghentikan kecanduan mamanya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada di rumah mereka, dia juga mengatur rencana supaya mamanya bisa berkencan dengan guru sekolah Trevor. Sang mama yang melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang mama mengucapkan terima kasih, Trevor berpesan kepada mamanya "PAY IT FORWARD, MOM"
Sang mama yang terkesan dengan yang dilakukan Trevor, terdorong untuk meneruskan kebaikan yang telah diterimanya itu dengan pergi kerumah ibunya (nenek si Trevor), hubungan mereka telah rusak selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah bertegur sapa, kehadiran sang putri untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan diantara mereka membuat nenek Trevor begitu terharu, saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, si anak berpesan, "PAY IT FORWARD,MOM"
Sang nenek yang begitu bahagia karena putrinya mau memaafkan dan menerima dirinya kembali, meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar segerombolan orang untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika para pengejarnya sudah pergi, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek berpesan: "PAY IT FORWARD, SON".
Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan nomor antriannya di rumah sakit kepada seorang gadis kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, si pemuda berpesan kepada ayah si gadis kecil : "PAY IT FORWARD, SIR"
Ayah si gadis kecil yang terkesan dengan kebaikan si pemuda, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya terkena kecelakaan pada saat sedang meliput suatu acara, saat si wartawan berterima kasih, ayah si gadis berpesan: "PAY IT FORWARD"
Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis, bertekad untuk mencari tau dari mana asal muasalnya istilah "PAY IT FORWARD" tersebut, jiwa kewartawanannya mengajak dia untuk menelusuri mundur untuk mencari informasi mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrian nomor rumah sakit, nenek yang memberikan tempat persembunyian, putri si nenek yang mengampuni, sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut.
Terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Trevor, Si wartawan mengatur agar Trevor bisa tampil di Televisi supaya banyak orang yang tergugah dengan apa yang telah dilakukan oleh anak kecil ini. Saat kesempatan untuk tampil di Televisi terlaksana, Trevor mengajak semua pemirsa yang sedang melihat acara tersebut untuk BERSEDIA MEMULAI DARI DIRI MEREKA SENDIRI UNTUK MELAKUKAN KEBAIKAN KEPADA ORANG-ORANG DI SEKITAR MEREKA agar dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih.
Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat akan menolong teman sekolahnya yang selalu diganggu oleh para berandalan, selesai penguburan Trevor, betapa terkejutnya sang Mama melihat ribuan orang tidak henti-hentinya datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor. Trevor sendiripun sampai akhir hayatnya tidak pernah menyadari dampak yang diberikan kepada banyak orang hanya dengan melakukan kebaikan penuh kasih kepada orang lain.
Mungkinkah saat kita terkagum-kagum menikmati kebaikan Tuhan di dalam hidup kita, dan kita bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada-Nya, jawaban Tuhan hanya sesederhana ini: "PAY IT FORWARD to OTHERS around YOU (Teruskanlah itu kepada orang lain yang ada di sekitarmu) "
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIANhttp://pentas-kesaksian.blogspot.com dengan sumber dari: http://bundapenolongabadi.blogspot.com/
Saat terlintas keraguan apakah mungkin perbuatan baik yang kecil dan sederhana yang kita lakukan kepada orang lain akan mampu mempengaruhi kehidupan mereka, mungkin Film "PAY IT FORWARD" bisa menjadi pendorong yang memberikan kita semangat untuk selalu tidak jemu-jemu berbuat baik kepada orang lain.
Kisahnya bercerita tentang seorang anak umur delapan tahun bernama Trevor yang berpikir jika dia melakukan kebaikan kepada tiga orang disekitarnya, lalu jika ke tiga orang tersebut meneruskan kebaikan yang mereka terima itu dengan melakukan kepada tiga orang lainnya dan begitu seterusnya, maka dia yakin bahwa suatu saat nanti dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang saling mengasihi. Dia menamakan ide tersebut: "PAY IT FORWARD"
Singkat cerita, Trevor memutuskan bahwa tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen adalah mamanya sendiri (yang menjadi single parent), seorang pemuda gembel yang selalu dilihatnya di pinggir jalan dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok anak-anak nakal.
Percobaanpun dimulai :
Trevor melihat bahwa mamanya yang sangat kesepian, tidak punya teman untuk berbagi rasa, telah menjadi pecandu minuman keras. Trevor berusaha menghentikan kecanduan mamanya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada di rumah mereka, dia juga mengatur rencana supaya mamanya bisa berkencan dengan guru sekolah Trevor. Sang mama yang melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang mama mengucapkan terima kasih, Trevor berpesan kepada mamanya "PAY IT FORWARD, MOM"
Sang mama yang terkesan dengan yang dilakukan Trevor, terdorong untuk meneruskan kebaikan yang telah diterimanya itu dengan pergi kerumah ibunya (nenek si Trevor), hubungan mereka telah rusak selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah bertegur sapa, kehadiran sang putri untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan diantara mereka membuat nenek Trevor begitu terharu, saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, si anak berpesan, "PAY IT FORWARD,MOM"
Sang nenek yang begitu bahagia karena putrinya mau memaafkan dan menerima dirinya kembali, meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar segerombolan orang untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika para pengejarnya sudah pergi, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek berpesan: "PAY IT FORWARD, SON".
Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan nomor antriannya di rumah sakit kepada seorang gadis kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, si pemuda berpesan kepada ayah si gadis kecil : "PAY IT FORWARD, SIR"
Ayah si gadis kecil yang terkesan dengan kebaikan si pemuda, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya terkena kecelakaan pada saat sedang meliput suatu acara, saat si wartawan berterima kasih, ayah si gadis berpesan: "PAY IT FORWARD"
Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis, bertekad untuk mencari tau dari mana asal muasalnya istilah "PAY IT FORWARD" tersebut, jiwa kewartawanannya mengajak dia untuk menelusuri mundur untuk mencari informasi mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrian nomor rumah sakit, nenek yang memberikan tempat persembunyian, putri si nenek yang mengampuni, sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut.
Terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Trevor, Si wartawan mengatur agar Trevor bisa tampil di Televisi supaya banyak orang yang tergugah dengan apa yang telah dilakukan oleh anak kecil ini. Saat kesempatan untuk tampil di Televisi terlaksana, Trevor mengajak semua pemirsa yang sedang melihat acara tersebut untuk BERSEDIA MEMULAI DARI DIRI MEREKA SENDIRI UNTUK MELAKUKAN KEBAIKAN KEPADA ORANG-ORANG DI SEKITAR MEREKA agar dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih.
Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat akan menolong teman sekolahnya yang selalu diganggu oleh para berandalan, selesai penguburan Trevor, betapa terkejutnya sang Mama melihat ribuan orang tidak henti-hentinya datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor. Trevor sendiripun sampai akhir hayatnya tidak pernah menyadari dampak yang diberikan kepada banyak orang hanya dengan melakukan kebaikan penuh kasih kepada orang lain.
Mungkinkah saat kita terkagum-kagum menikmati kebaikan Tuhan di dalam hidup kita, dan kita bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada-Nya, jawaban Tuhan hanya sesederhana ini: "PAY IT FORWARD to OTHERS around YOU (Teruskanlah itu kepada orang lain yang ada di sekitarmu) "
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIANhttp://pentas-kesaksian.blogspot.com dengan sumber dari: http://bundapenolongabadi.blogspot.com/
Friday, December 9, 2011
God's Wife
An eye witness account from New York City, on a cold day in December, some years ago:
A little boy, about 10-years-old, was standing before a shoe store on the roadway, barefooted, peering through the window, and shivering with cold.
A lady approached the young boy and said, 'My, but you're in such deep thought staring in that window!'
'I was asking God to give me a pair of shoes,' was the boy's reply.
The lady took him by the hand, went into the store, and asked the clerk to get half a dozen pairs of socks for the boy. She then asked if he could give her a basin of water and a towel. He quickly brought them to her.
She took the little fellow to the back part of the store and, removing her gloves, knelt down, washed his little feet, and dried them with the towel.
By this time, the clerk had returned with the socks. Placing a pair upon the boy's feet, she purchased him a pair of shoes..
She tied up the remaining pairs of sock and gave them to him.. She patted him on the head and said, 'No doubt, you will be more comfortable now.'
As she turned to go, the astonished kid caught her by the hand, and looking up into her face, with tears in his eyes, asked her.
'Are you God's wife?'
******
Istri Tuhan?
Suatu kisah kesaksian datang dari Kota New York, pada suatu hari yang dingin di bulan Desember beberapa tahun lalu:
Seorang anak kecil, sekitar umur 10 tahun, sedang berdiri di depan sebuah toko sepatu dengan kaki telanjang, memandangi kaca toko, dan gemetar kedinginan.
Seorang ibu mendekati anak kecil itu dan berkata, ”Wah, kamu asyik sekali memandangi ke dalam toko.”
”Saya sedang berdoa kepada Tuhan untuk memberikan saya sepasang sepatu,” demikianlah jawab anak itu.
Ibu itu menggandeng tangan anak kecil itu, membawanya masuk ke dalam toko, dan ia meminta agar penjaga toko membawa setengah lusin kaos kaki bagi anak kecil itu. Kemudian si ibu meminta sebaskom air bersih dan handuk. Penjaga toko itu dengan cepat membawa semua yang diminta nyonya itu.
Sang ibu membawa anak kecil itu ke bagian belakang toko, melepaskan sarung tangannya sendiri, berlutut dan membasuh kaki si anak kecil, dan kemudian mengeringkannya dengan handuk.
Saat itu juga sang penjaga toko datang dengan enam kaus kaki. Si ibu kemudian memasangkan sepasang kaos kaki ke kakinya, dan kemudian membelikan sepasang sepatu. Kemudian si ibu mengikat sisa kaos kaki menjadi satu dan memberikan kepada anak kecil itu. Dia mengusap kepala anak itu sambil berkata, ”Nah, sekarang kamu pasti lebih nyaman.”
Ketika si ibu akan berlalu setelah selesai membayar semuanya, anak kecil yang terbengong-bengong itu memegang tangan si ibu dan sambil memandang wajahnya, dengan air mata berlinangan, sang anak kecil bertanya, ”Apakah anda itu istrinya Tuhan?”
*****
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIANhttp://pentas-kesaksian.blogspot.com
NOTE:
Terima kasih atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" oleh Bapak Frans dari Pondok Indah Jakarta dan Ibu Irene dari Tegal.
A little boy, about 10-years-old, was standing before a shoe store on the roadway, barefooted, peering through the window, and shivering with cold.
A lady approached the young boy and said, 'My, but you're in such deep thought staring in that window!'
'I was asking God to give me a pair of shoes,' was the boy's reply.
The lady took him by the hand, went into the store, and asked the clerk to get half a dozen pairs of socks for the boy. She then asked if he could give her a basin of water and a towel. He quickly brought them to her.
She took the little fellow to the back part of the store and, removing her gloves, knelt down, washed his little feet, and dried them with the towel.
By this time, the clerk had returned with the socks. Placing a pair upon the boy's feet, she purchased him a pair of shoes..
She tied up the remaining pairs of sock and gave them to him.. She patted him on the head and said, 'No doubt, you will be more comfortable now.'
As she turned to go, the astonished kid caught her by the hand, and looking up into her face, with tears in his eyes, asked her.
'Are you God's wife?'
******
Istri Tuhan?
Suatu kisah kesaksian datang dari Kota New York, pada suatu hari yang dingin di bulan Desember beberapa tahun lalu:
Seorang anak kecil, sekitar umur 10 tahun, sedang berdiri di depan sebuah toko sepatu dengan kaki telanjang, memandangi kaca toko, dan gemetar kedinginan.
Seorang ibu mendekati anak kecil itu dan berkata, ”Wah, kamu asyik sekali memandangi ke dalam toko.”
”Saya sedang berdoa kepada Tuhan untuk memberikan saya sepasang sepatu,” demikianlah jawab anak itu.
Ibu itu menggandeng tangan anak kecil itu, membawanya masuk ke dalam toko, dan ia meminta agar penjaga toko membawa setengah lusin kaos kaki bagi anak kecil itu. Kemudian si ibu meminta sebaskom air bersih dan handuk. Penjaga toko itu dengan cepat membawa semua yang diminta nyonya itu.
Sang ibu membawa anak kecil itu ke bagian belakang toko, melepaskan sarung tangannya sendiri, berlutut dan membasuh kaki si anak kecil, dan kemudian mengeringkannya dengan handuk.
Saat itu juga sang penjaga toko datang dengan enam kaus kaki. Si ibu kemudian memasangkan sepasang kaos kaki ke kakinya, dan kemudian membelikan sepasang sepatu. Kemudian si ibu mengikat sisa kaos kaki menjadi satu dan memberikan kepada anak kecil itu. Dia mengusap kepala anak itu sambil berkata, ”Nah, sekarang kamu pasti lebih nyaman.”
Ketika si ibu akan berlalu setelah selesai membayar semuanya, anak kecil yang terbengong-bengong itu memegang tangan si ibu dan sambil memandang wajahnya, dengan air mata berlinangan, sang anak kecil bertanya, ”Apakah anda itu istrinya Tuhan?”
*****
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIANhttp://pentas-kesaksian.blogspot.com
NOTE:
Terima kasih atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" oleh Bapak Frans dari Pondok Indah Jakarta dan Ibu Irene dari Tegal.
Tuesday, December 1, 2009
What Matters Most
Beberapa tahun lalu di Olimpiade Khusus yang diadakan di kota Seattle, sembilan orang peserta lomba, semuanya cacat mental atau cacat fisik, berkumpul dan bersiap di garis start untuk jalan cepat 100 yard.
Pada saat aba-aba dibunyikan, semuanya mulai bergerak, tidak berjalan cepat tepatnya, tetapi tekad mereka kuat untuk mengikuti lomba itu sampai garis finish. Semuanya bergerak cepat, kecuali satu orang anak kecil yang tersungkur ke jalan asphal, terjatuh berkali-kali, dan mulai menangis.
Kedelapan peserta lainnya mendengar tangisan anak itu. Mereka mulai memperlambat gerakan mereka dan menengok ke belakang.
Kemudian mereka semua berbalik dan mendekati anak itu, setiap orang balik lagi. Seorang gadis dengan penyakit Down Sindrom membungkuk dan mencium anak itu sambil berkata, "Ciuman ini membuat kamu lebih baik."
Kemudian sembilan peserta itu bergandengan tangan satu sama lain dan bergerak menuju garis finish.
Semua penonton di stadion berdiri menyambut mereka, dan sorak sorai membahana selama beberapa menit. Orang-orang yang melihat kejadian itu terus bercerita tentang kisah yang mengharukan ini. Mengapa? Karena di dalam hati nurani kita ada keyakinan bahwa yang paling penting dalam kehidupan ini bukanlah menang bagi diri kita sendiri. Apa yang jauh lebih penting dalam kehidupan ini adalah menolong orang lain untuk menang, meskipun itu harus berarti memperlambat tempo kehidupan kita dan berbalik arah menolong orang lain. Penulis Tak Dikenal, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada 1 Desember 2009.
****
A few years ago, at the Seattle Special Olympics, nine contestants, all physically or mentally disabled, assembled at the starting line for the 100-yard dash.
At the gun, they all started out, not exactly in a dash, but with a relish to run the race to the finish and win. All, that is, except one little boy who stumbled on the asphalt, tumbled over a couple of times, and began to cry.
The other eight heard the boy cry. They slowed down and looked back.
Then they all turned around and went back, every one of them. One girl with Down's Syndrome bent down and kissed him and said: "This will make it better."
Then all nine linked arms and walked together to the finish line.
Everyone in the stadium stood, and the cheering went on for several minutes. People who were there are still telling the story. Why? Because deep down we know this one thing: What matters in this life is more than winning for ourselves.
What matters in this life is helping others win, even if it means slowing down and changing our course. Author unknown
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Pada saat aba-aba dibunyikan, semuanya mulai bergerak, tidak berjalan cepat tepatnya, tetapi tekad mereka kuat untuk mengikuti lomba itu sampai garis finish. Semuanya bergerak cepat, kecuali satu orang anak kecil yang tersungkur ke jalan asphal, terjatuh berkali-kali, dan mulai menangis.
Kedelapan peserta lainnya mendengar tangisan anak itu. Mereka mulai memperlambat gerakan mereka dan menengok ke belakang.
Kemudian mereka semua berbalik dan mendekati anak itu, setiap orang balik lagi. Seorang gadis dengan penyakit Down Sindrom membungkuk dan mencium anak itu sambil berkata, "Ciuman ini membuat kamu lebih baik."
Kemudian sembilan peserta itu bergandengan tangan satu sama lain dan bergerak menuju garis finish.
Semua penonton di stadion berdiri menyambut mereka, dan sorak sorai membahana selama beberapa menit. Orang-orang yang melihat kejadian itu terus bercerita tentang kisah yang mengharukan ini. Mengapa? Karena di dalam hati nurani kita ada keyakinan bahwa yang paling penting dalam kehidupan ini bukanlah menang bagi diri kita sendiri. Apa yang jauh lebih penting dalam kehidupan ini adalah menolong orang lain untuk menang, meskipun itu harus berarti memperlambat tempo kehidupan kita dan berbalik arah menolong orang lain. Penulis Tak Dikenal, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada 1 Desember 2009.
****
A few years ago, at the Seattle Special Olympics, nine contestants, all physically or mentally disabled, assembled at the starting line for the 100-yard dash.
At the gun, they all started out, not exactly in a dash, but with a relish to run the race to the finish and win. All, that is, except one little boy who stumbled on the asphalt, tumbled over a couple of times, and began to cry.
The other eight heard the boy cry. They slowed down and looked back.
Then they all turned around and went back, every one of them. One girl with Down's Syndrome bent down and kissed him and said: "This will make it better."
Then all nine linked arms and walked together to the finish line.
Everyone in the stadium stood, and the cheering went on for several minutes. People who were there are still telling the story. Why? Because deep down we know this one thing: What matters in this life is more than winning for ourselves.
What matters in this life is helping others win, even if it means slowing down and changing our course. Author unknown
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Thursday, November 12, 2009
A Pair of Kebaya Clothes for Mom
Lastri menimang-nimang kembali jarit dan kebaya yang masih baru. Sebuah jarit dengan warna dasar coklat tua. Dia tidak tahu nama corak batik. Baginya itu tidak penting. Dia hanya melihat bahwa warna ini sangat cocok bagi emaknya. Dia juga pernah melihat emaknya memiliki jarit dengan corak yang seperti ini, tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu dan jarit itu sudah dijual ketika Lastri membutuhkan uang untuk membayar uang sekolah.
Ditatapnya kebaya yang ada di tangan kirinya. Kebaya yang baru saja selesai dijahit oleh Mbak Mi, tetangga sebelah. Warna bunga-bunga yang cerah sangat cocok dengan warna dasar jarit. Pikiran Lastri terbang membayangkan emaknya memakai jarit dan kebaya baru. Betapa bahagia emak nanti berlebaran dengan jarit dan kebaya baru, pikir Lastri dengan senyum mengambang bahagia.
Entah sudah berapa kali sepasang pakaian itu ditimang-timangnya. Setiap melihat keduanya hati Lastri menjadi berbunga-bunga. Dia sangat bahagia. Dia sudah lama menabung untuk kedua pakaian ini. Gajinya yang kecil disisihkan sedikit demi sedikit. Dia pun harus mengurangi jatah makan dan kesenangan pribadi. Sejak masuk kerja dulu tekadnya sudah bulat bahwa Lebaran kali ini dia harus memberi emaknya hadiah. Dia ingin emaknya bahagia di hari Lebaran dengan pakaian baru. Terbayang wajah emak di desa. Seorang perempuan desa yang sederhana. Tidak berpendidikan. Namun bagi Lastri emak adalah segalanya. Dialah orang tua satu-satunya. Sejak kecil emak sudah ditinggal bapak yang nikah lagi. Lastri tidak tahu persis mengapa bapak meninggalkan keluarganya dan menikah lagi. Konon menurut cerita beberapa tetangga dan cerita emak sendiri, bapak tergila-gila sama janda lain desa. Bapak ingin menikahi janda itu. Tapi emak tidak mau dimadu, maka bapak menceraikan emak.
Tanpa bekal ketrampilan dan pendidikan, emak harus bekerja untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil, sebab bapak tidak peduli lagi terhadap mereka. Setiap subuh emak harus bangun dan bergegas ke pasar yang berjarak 5 km dari rumah. Emak berjualan kue yang dibuatnya sendiri sepanjang sore dan malam hari. Siang hari emak baru pulang lalu mengurus rumah. Lastri dan kedua adiknya yang masih kecil hanya bisa membantu ala kadarnya. Mereka diserahi untuk memelihara ayam untuk biaya sekolah. Emak tidak ingin anak-anaknya bodoh dan bisa disepelekan oleh lelaki seperti dirinya. Bagi emak, seorang perempuan harus bisa mandiri dan mempunyai pendirian yang kukuh. Tidak perlu memohon belas kasih dari lelaki. Lastri senantiasa mengingat ajaran emaknya. Meski dia hanya seorang anak desa yang miskin dan wajahnya tidak cantik, namun dia tidak mau dijadikan istri pertama apalagi kedua. Menurut emak menjadi istri pertama atau kedua atau ketiga, hanya menunjukan kelemahan seorang perempuan. Perempuan harus punya harga diri. Dia harus bisa mensejajarkan diri dengan lelaki. Bukan obyek yang bisa dipermainkan, kalau senang dinikahi setelah bosan ditinggalkan begitu saja. Lastri tersenyum membayangkan wajah emaknya.
Didikan emak membuatnya menjadi perempuan yang mandiri. Setelah lulus SMA di desa, dia ke Surabaya mencari kerja. Akhirnya di terima disebuah home industri yang tidak jauh dari tempat kos. Dia bekerja mulai dari pagi sampai sore dengan gaji Rp 350.000 per bulan. Bagi Lastri gaji ini sudah cukup besar. Kalau dihitung perhari dia mendapatkan gaji sekitar Rp 11.000 lebih. Padahal hasil keuntungan emaknya perhari hanya sekitar Rp 6000, itupun harus bangun sebelum subuh dan bekerja sampai larut malam. Belum lagi harus jalan kaki ke pasar sejauh 5 km sambil membawa barang baik waktu pergi maupun saat pulang. Maka dia tidak mau meneruskan pekerjaan emaknya.
Lastri juga teringat apa yang dikatakan oleh majikannya bahwa gajinya sudah besar, sebab kerjanya hanya membuat kotak sepatu. Tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Lastri pun puas akan gajinya dan pekerjaannya. Dari pada di desa lebih baik dia bekerja disini. Dia bisa melihat dan merasakan kehidupan kota dan mendapatkan gaji yang lebih besar dari penghasilan emaknya. Selain itu dengan bekerja di kota, dia merasa lebih memiliki harga diri dari pada hanya menjadi sekedar penjual kue seperti emaknya. Lebih penting lagi emaknya bangga, bahwa anaknya bisa bekerja di kota. Emak tidak rugi menyekolahkan kamu sampai pinter, sehingga kamu tidak menjadi penjual kue seperti emak. Ini pernah dikatakan emaknya ketika Lastri memberitahu bahwa dia sudah bekerja di sebuah perusahaan.
Beberapa kali ada teman yang mengatakan bahwa gajinya tidak sesuai dengan UMR, tapi Lastri tidak peduli. Majikannya pernah mengatakan, kalau dia merasa gajinya kurang, silakan mencari pekerjaan di tempat lain. Mencari pekerjaan saat ini sangat sulit, apalagi hanya berbekal ijasah SMA dari desa dan dia tidak memiliki ijasah lain. Maka dia tidak tertarik ketika ada seorang teman mengajak nya mogok kerja untuk meminta kenaikan upah dan uang makan. Bagi Lastri biarlah banyak buruh yang mogok untuk menuntut kenaikan upah. Dia tidak akan ikut-ikutan mereka. Dia sudah sangat berterima kasih pada majikannya, sebab mau menerima dia bekerja disini. Selain itu jika dia dikeluarkan oleh majikannya akibat ikut-ikutan temannya mogok, maka dia tidak tahu harus bekerja apa. Majikannya pernah mengatakan bahwa kalau dia keluar, akan banyak orang yang datang dan siap menggantikannya. Saat ini situasi sedang sulit. Banyak orang butuh pekerjaan. Mereka tidak hanya lulusan SMA bahkan banyak yang lulusan sarjana. Maka Lastri bersedia saja menerima gaji yang telah ditentukan oleh majikannya, tanpa dia sendiri tahu tentang perhitungan dan patokan gajinya.
Uang Rp 350.000 itu memang sebenarnya tidak cukup. Untuk bayar kos di sebuah kamar kecil saja sudah Rp 50.000 per bulan. Untuk makan di warung Budhe Yah sekali makan dia harus bayar Rp 2500. Itupun hanya dapat nasi dengan sedikit lauk dan teh. Dengan demikian dia harus mengeluarkan Rp 7500 per hari atau Rp 225.000 per bulan. Dengan demikian untuk makan dan kos saja sudah Rp 275.000. ini belum termasuk air untuk minum dan kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti sabun mandi, sabun cuci, odol, bedak dan lainnya. Rekreasi? Suatu hal yang hanya bisa dia bayangkan. Selama 8 bulan di Surabaya, baru sekali dia nonton bioskop dekat pasar dengan tiket Rp 1500. Dia hanya pernah mendengar ada plaza dengan nama TP dan Delta, tapi lewat di depannya saja jarang sekali. Apalagi masuk ke dalamnya. Dia tidak berani. Sejak datang ke Surabaya dia baru dua kali beli pakaian di tukang loak yang banyak membuka stand kalau malam hari. Dia harus hidup irit seirit-iritnya. Sebetulnya kalau masak sendiri, bisa lebih irit, tapi mau masak kadang tidak sempat, sebab jam 8 pagi harus sudah di perusahaan dan baru pulang jam 17.00. Itupun kalau tidak lembur. Sering kali Lastri pulang dengan kecapekan sebab seharian hanya duduk untuk memotong dan melem karton.
Dia pun masih harus mengirim uang untuk kedua adiknya setiap dua bulan sekali. Emak sudah semakin tua, sehingga tidak bisa berjualan seperti dulu lagi. Emak hanya berjualan ala kadarnya, maka Lastri harus menanggung beban biaya sekolah kedua adiknya. Untuk itu Lastri harus memperhitungkan dengan teliti setiap pengeluaran. Dia pun sering terpaksa puasa agar uangnya masih cukup untuk menutup semua kebutuhan. Tapi dia bangga bisa membantu emak membiayai adik-adiknya. Selama setengah tahun ini Lastri harus lebih mengirit pengeluaran. Sisa uang yang ada dia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk membelikan jarit dan kebaya bagi emak. Ini bukan suatu kemewahan. Sudah 6 kali Lebaran emak tidak pernah menggunakan jarit dan kebaya baru. Maka Lastri ingin pada Lebaran kali ini emak bisa menggunakan pakaian baru. Pakaian yang dia belikan dari hasil keringatnya. Ini adalah bentuk sedikit balas kasih emak kepadanya yang tidak mungkin terbalaskan.
Di tengah keredupan lampu 15 watt Lastri tersenyum membayangkan wajah emaknya yang sangat bahagia. Lastri tidak membelikan baju untuk kedua adiknya, sebab dia tahu pasti emak telah membelikan untuk mereka. Setiap lebaran emak pasti membelikan baju baru bagi anak-anaknya. Bagi emak sudah merupakan suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya memakai baju baru di hari yang baik ini. Emak tidak peduli dengan dirinya asal anak-anaknya bahagia. Dengan perlahan Lastri memasukan kebaya dan jarit itu dalam tas besar yang besok akan dibawanya pulang. Dia sudah tidak sabar menunggu hari esok. Dia ingin segera pulang dan memeluk emaknya. Dia kangen sama emaknya. Dia ingin melihat kegembiraan yang terpancar di wajah emaknya. Emak aku sangat mencintaimu, bisik Lastri lirih. Email kiriman bpk Wawan S.T.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Ditatapnya kebaya yang ada di tangan kirinya. Kebaya yang baru saja selesai dijahit oleh Mbak Mi, tetangga sebelah. Warna bunga-bunga yang cerah sangat cocok dengan warna dasar jarit. Pikiran Lastri terbang membayangkan emaknya memakai jarit dan kebaya baru. Betapa bahagia emak nanti berlebaran dengan jarit dan kebaya baru, pikir Lastri dengan senyum mengambang bahagia.
Entah sudah berapa kali sepasang pakaian itu ditimang-timangnya. Setiap melihat keduanya hati Lastri menjadi berbunga-bunga. Dia sangat bahagia. Dia sudah lama menabung untuk kedua pakaian ini. Gajinya yang kecil disisihkan sedikit demi sedikit. Dia pun harus mengurangi jatah makan dan kesenangan pribadi. Sejak masuk kerja dulu tekadnya sudah bulat bahwa Lebaran kali ini dia harus memberi emaknya hadiah. Dia ingin emaknya bahagia di hari Lebaran dengan pakaian baru. Terbayang wajah emak di desa. Seorang perempuan desa yang sederhana. Tidak berpendidikan. Namun bagi Lastri emak adalah segalanya. Dialah orang tua satu-satunya. Sejak kecil emak sudah ditinggal bapak yang nikah lagi. Lastri tidak tahu persis mengapa bapak meninggalkan keluarganya dan menikah lagi. Konon menurut cerita beberapa tetangga dan cerita emak sendiri, bapak tergila-gila sama janda lain desa. Bapak ingin menikahi janda itu. Tapi emak tidak mau dimadu, maka bapak menceraikan emak.
Tanpa bekal ketrampilan dan pendidikan, emak harus bekerja untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil, sebab bapak tidak peduli lagi terhadap mereka. Setiap subuh emak harus bangun dan bergegas ke pasar yang berjarak 5 km dari rumah. Emak berjualan kue yang dibuatnya sendiri sepanjang sore dan malam hari. Siang hari emak baru pulang lalu mengurus rumah. Lastri dan kedua adiknya yang masih kecil hanya bisa membantu ala kadarnya. Mereka diserahi untuk memelihara ayam untuk biaya sekolah. Emak tidak ingin anak-anaknya bodoh dan bisa disepelekan oleh lelaki seperti dirinya. Bagi emak, seorang perempuan harus bisa mandiri dan mempunyai pendirian yang kukuh. Tidak perlu memohon belas kasih dari lelaki. Lastri senantiasa mengingat ajaran emaknya. Meski dia hanya seorang anak desa yang miskin dan wajahnya tidak cantik, namun dia tidak mau dijadikan istri pertama apalagi kedua. Menurut emak menjadi istri pertama atau kedua atau ketiga, hanya menunjukan kelemahan seorang perempuan. Perempuan harus punya harga diri. Dia harus bisa mensejajarkan diri dengan lelaki. Bukan obyek yang bisa dipermainkan, kalau senang dinikahi setelah bosan ditinggalkan begitu saja. Lastri tersenyum membayangkan wajah emaknya.
Didikan emak membuatnya menjadi perempuan yang mandiri. Setelah lulus SMA di desa, dia ke Surabaya mencari kerja. Akhirnya di terima disebuah home industri yang tidak jauh dari tempat kos. Dia bekerja mulai dari pagi sampai sore dengan gaji Rp 350.000 per bulan. Bagi Lastri gaji ini sudah cukup besar. Kalau dihitung perhari dia mendapatkan gaji sekitar Rp 11.000 lebih. Padahal hasil keuntungan emaknya perhari hanya sekitar Rp 6000, itupun harus bangun sebelum subuh dan bekerja sampai larut malam. Belum lagi harus jalan kaki ke pasar sejauh 5 km sambil membawa barang baik waktu pergi maupun saat pulang. Maka dia tidak mau meneruskan pekerjaan emaknya.
Lastri juga teringat apa yang dikatakan oleh majikannya bahwa gajinya sudah besar, sebab kerjanya hanya membuat kotak sepatu. Tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Lastri pun puas akan gajinya dan pekerjaannya. Dari pada di desa lebih baik dia bekerja disini. Dia bisa melihat dan merasakan kehidupan kota dan mendapatkan gaji yang lebih besar dari penghasilan emaknya. Selain itu dengan bekerja di kota, dia merasa lebih memiliki harga diri dari pada hanya menjadi sekedar penjual kue seperti emaknya. Lebih penting lagi emaknya bangga, bahwa anaknya bisa bekerja di kota. Emak tidak rugi menyekolahkan kamu sampai pinter, sehingga kamu tidak menjadi penjual kue seperti emak. Ini pernah dikatakan emaknya ketika Lastri memberitahu bahwa dia sudah bekerja di sebuah perusahaan.
Beberapa kali ada teman yang mengatakan bahwa gajinya tidak sesuai dengan UMR, tapi Lastri tidak peduli. Majikannya pernah mengatakan, kalau dia merasa gajinya kurang, silakan mencari pekerjaan di tempat lain. Mencari pekerjaan saat ini sangat sulit, apalagi hanya berbekal ijasah SMA dari desa dan dia tidak memiliki ijasah lain. Maka dia tidak tertarik ketika ada seorang teman mengajak nya mogok kerja untuk meminta kenaikan upah dan uang makan. Bagi Lastri biarlah banyak buruh yang mogok untuk menuntut kenaikan upah. Dia tidak akan ikut-ikutan mereka. Dia sudah sangat berterima kasih pada majikannya, sebab mau menerima dia bekerja disini. Selain itu jika dia dikeluarkan oleh majikannya akibat ikut-ikutan temannya mogok, maka dia tidak tahu harus bekerja apa. Majikannya pernah mengatakan bahwa kalau dia keluar, akan banyak orang yang datang dan siap menggantikannya. Saat ini situasi sedang sulit. Banyak orang butuh pekerjaan. Mereka tidak hanya lulusan SMA bahkan banyak yang lulusan sarjana. Maka Lastri bersedia saja menerima gaji yang telah ditentukan oleh majikannya, tanpa dia sendiri tahu tentang perhitungan dan patokan gajinya.
Uang Rp 350.000 itu memang sebenarnya tidak cukup. Untuk bayar kos di sebuah kamar kecil saja sudah Rp 50.000 per bulan. Untuk makan di warung Budhe Yah sekali makan dia harus bayar Rp 2500. Itupun hanya dapat nasi dengan sedikit lauk dan teh. Dengan demikian dia harus mengeluarkan Rp 7500 per hari atau Rp 225.000 per bulan. Dengan demikian untuk makan dan kos saja sudah Rp 275.000. ini belum termasuk air untuk minum dan kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti sabun mandi, sabun cuci, odol, bedak dan lainnya. Rekreasi? Suatu hal yang hanya bisa dia bayangkan. Selama 8 bulan di Surabaya, baru sekali dia nonton bioskop dekat pasar dengan tiket Rp 1500. Dia hanya pernah mendengar ada plaza dengan nama TP dan Delta, tapi lewat di depannya saja jarang sekali. Apalagi masuk ke dalamnya. Dia tidak berani. Sejak datang ke Surabaya dia baru dua kali beli pakaian di tukang loak yang banyak membuka stand kalau malam hari. Dia harus hidup irit seirit-iritnya. Sebetulnya kalau masak sendiri, bisa lebih irit, tapi mau masak kadang tidak sempat, sebab jam 8 pagi harus sudah di perusahaan dan baru pulang jam 17.00. Itupun kalau tidak lembur. Sering kali Lastri pulang dengan kecapekan sebab seharian hanya duduk untuk memotong dan melem karton.
Dia pun masih harus mengirim uang untuk kedua adiknya setiap dua bulan sekali. Emak sudah semakin tua, sehingga tidak bisa berjualan seperti dulu lagi. Emak hanya berjualan ala kadarnya, maka Lastri harus menanggung beban biaya sekolah kedua adiknya. Untuk itu Lastri harus memperhitungkan dengan teliti setiap pengeluaran. Dia pun sering terpaksa puasa agar uangnya masih cukup untuk menutup semua kebutuhan. Tapi dia bangga bisa membantu emak membiayai adik-adiknya. Selama setengah tahun ini Lastri harus lebih mengirit pengeluaran. Sisa uang yang ada dia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk membelikan jarit dan kebaya bagi emak. Ini bukan suatu kemewahan. Sudah 6 kali Lebaran emak tidak pernah menggunakan jarit dan kebaya baru. Maka Lastri ingin pada Lebaran kali ini emak bisa menggunakan pakaian baru. Pakaian yang dia belikan dari hasil keringatnya. Ini adalah bentuk sedikit balas kasih emak kepadanya yang tidak mungkin terbalaskan.
Di tengah keredupan lampu 15 watt Lastri tersenyum membayangkan wajah emaknya yang sangat bahagia. Lastri tidak membelikan baju untuk kedua adiknya, sebab dia tahu pasti emak telah membelikan untuk mereka. Setiap lebaran emak pasti membelikan baju baru bagi anak-anaknya. Bagi emak sudah merupakan suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya memakai baju baru di hari yang baik ini. Emak tidak peduli dengan dirinya asal anak-anaknya bahagia. Dengan perlahan Lastri memasukan kebaya dan jarit itu dalam tas besar yang besok akan dibawanya pulang. Dia sudah tidak sabar menunggu hari esok. Dia ingin segera pulang dan memeluk emaknya. Dia kangen sama emaknya. Dia ingin melihat kegembiraan yang terpancar di wajah emaknya. Emak aku sangat mencintaimu, bisik Lastri lirih. Email kiriman bpk Wawan S.T.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Wednesday, November 4, 2009
To Bless Others in Blindness
Alkisah ada seorang pria tua yang usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. Ia hidup di pinggir desa. Walaupun ia hidup sebatang kara, tetapi ia selalu mensyukuri dengan apa yang ia terima. Hal inilah yang membuat dia bisa hidup dengan penuh ceria. Namum tiba-tiba ia menjadi buta. Ia harus hidup dalam kegelapan, sehingga tidak ada harapan lagi untuk bisa melihat sinar matahari maupun keindahan alam disekitarnya. Hal inilah yang membuat dia jadi sangat bersedih hati.
Sampai pada suatu hari ketika dia berjalan melewati pagar rumahnya dan mencium sekuntum bunga mawar, ia berkata, "Aku bisa memiliki sebuah taman. Meskipun aku tidak bisa melihat bunga-bunga ini, aku dapat merawatnya dengan baik dan merasakan serta mencium dan mengasihi mereka."
Kemudian dia mulai membuat sebuah taman, merawatnya dengan penuh kasih. Tangannya yang peka mulai tahu setiap tanaman yang baru tumbuh. Bunga-bunga tampaknya dapat merasakan perawatan yang baik yang diberikan oleh pria itu. Bunga-bunga itu bermekaran seperti bunga-bunga yang ada di desa itu. Setiap hari pria itu menyuruh seorang anak laki-laki tetangganya untuk mengantarkan seikat bunga ke rumah sakit terdekat. Bunga-bunga itu mengantarkan kasih yang diberikan pria tua itu kepada orang-orang yang sedang sakit.
Meskipun ia harus hidup dalam kegelapan, orang tua yang buta itu telah mengukir kedamaian dan kegembiraan melalui kasihnya kepada bunga-bunga yang ditanamnya dan melalui kasihnya kepada orang lain. Ia merasa hidupnya bisa bermanfaat lagi bagi sesama manusia. Hal ini telah dapat memulihkan kembali rasa ceria di dalam kehidupan laki-laki tua itu. Dari tulisan Mang Ucup di Milis Sahabat Kristen.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Sampai pada suatu hari ketika dia berjalan melewati pagar rumahnya dan mencium sekuntum bunga mawar, ia berkata, "Aku bisa memiliki sebuah taman. Meskipun aku tidak bisa melihat bunga-bunga ini, aku dapat merawatnya dengan baik dan merasakan serta mencium dan mengasihi mereka."
Kemudian dia mulai membuat sebuah taman, merawatnya dengan penuh kasih. Tangannya yang peka mulai tahu setiap tanaman yang baru tumbuh. Bunga-bunga tampaknya dapat merasakan perawatan yang baik yang diberikan oleh pria itu. Bunga-bunga itu bermekaran seperti bunga-bunga yang ada di desa itu. Setiap hari pria itu menyuruh seorang anak laki-laki tetangganya untuk mengantarkan seikat bunga ke rumah sakit terdekat. Bunga-bunga itu mengantarkan kasih yang diberikan pria tua itu kepada orang-orang yang sedang sakit.
Meskipun ia harus hidup dalam kegelapan, orang tua yang buta itu telah mengukir kedamaian dan kegembiraan melalui kasihnya kepada bunga-bunga yang ditanamnya dan melalui kasihnya kepada orang lain. Ia merasa hidupnya bisa bermanfaat lagi bagi sesama manusia. Hal ini telah dapat memulihkan kembali rasa ceria di dalam kehidupan laki-laki tua itu. Dari tulisan Mang Ucup di Milis Sahabat Kristen.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Monday, November 2, 2009
The Bishop's Gift
Hadiah dari Penilik Jemaat
Pada suatu saat sebuah gereja mengalami masa-masa yang sulit. Hanya ada lima anggota gereja yang tersisa: seorang Pendeta dan empat anggota, semuanya di atas 60 tahun.
Di sebuah bukit dekat gereja itu tinggal seorang Penilik Jemaat yang sudah pensiun. Sang pendeta akhirnya meminta nasihat sang Penilik Jemaat untuk menyelamatkan gereja tersebut. Pendeta dan Penilik Jemaat itu berbicara panjang lebar, tetapi ketika diminta nasihatnya, Penilik Jemaat hanya menjawab, "Saya tidak mempunyai nasihat untuk diberikan. Satu hal yang saya dapat katakan ialah bahwa salah seorang di antara kalian adalah juruselamat."
Sekembalinya dari pertemuan dengan Penilik Jemaat, Pendeta itu menceritakan apa yang telah dikatakan Penilik Jemaat. Selama beberapa bulan berikutnya semua anggota jemaat mulai merenungkan perkataan Penilik Jemaat. "Salah seorang di antara kita adalah juruselamat?" Ketika mulai memikirkan kemungkinan itu, mereka mulai memperlakukan satu sama lain dengan penuh hormat, dengan harapan mereka melakukannya untuk sang juruselamat. Selain itu mereka juga saling memperlakukan satu sama lain dengan kepedulian yang luar biasa.
Dengan berlalunya waktu, orang-orang yang datang ke gereja itu melihat aura yang istimewa yang penuh hormat dan kepedulian yang sangat luar biasa diantara kelima anggota gereja. Tanpa disadari orang-orang mulai datang lagi ke gereja itu. Orang-orang mulai mengajak teman-temannya, dan teman-temannya mengajak teman-temannya yang lain. Dalam waktu beberapa tahun saja gereja itu kembali menjadi gereja yang hidup, yang penuh terobosan karena ada rasa saling hormat dan kepedulian satu sama lain yang luar biasa, berkat hadiah dari seorang pensiunan Penilik Jemaat. Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, 1 Nopember 2009.
******
The Bishop's Gift
Once a church had fallen upon hard times. Only five members were left: the pastor and four others, all over 60 years old.
In the mountains near the church there lived a retired Bishop. It occurred to the pastor to ask the Bishop if he could offer any advice that might save the church. The pastor and the Bishop spoke at length, but when asked for advice, the Bishop simply responded by saying, "I have no advice to give. The only thing I can tell you is that the Messiah is one of you."
The pastor, returning to the church, told the church members what the Bishop had said. In the months that followed, the old church members pondered the words of the Bishop. "The Messiah is one of us?" they each asked themselves. As they thought about this possibility, they all began to treat each other with extraordinary respect on the off chance that that one among them might be the Messiah. And on the off, off chance that each member himself might be the Messiah, they also began to treat themselves with extraordinary care.
As time went by, people visiting the church noticed the aura of respect and gentle kindness that surrounded the five old members of the small church. Hardly knowing why, more people began to come back to the church. They began to bring their friends, and their friends brought more friends. Within a few years, the small church had once again become a thriving church, thanks to the Bishop's gift.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
**************
Personal Note:
Terima kasih atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" oleh Bapak Yongky dari NYC, pesanan akan dikirim via Surabaya dan akan dibawa oleh Tim Pria Sejati yang akan berangkat ke New York City. God bless you.
Pada suatu saat sebuah gereja mengalami masa-masa yang sulit. Hanya ada lima anggota gereja yang tersisa: seorang Pendeta dan empat anggota, semuanya di atas 60 tahun.
Di sebuah bukit dekat gereja itu tinggal seorang Penilik Jemaat yang sudah pensiun. Sang pendeta akhirnya meminta nasihat sang Penilik Jemaat untuk menyelamatkan gereja tersebut. Pendeta dan Penilik Jemaat itu berbicara panjang lebar, tetapi ketika diminta nasihatnya, Penilik Jemaat hanya menjawab, "Saya tidak mempunyai nasihat untuk diberikan. Satu hal yang saya dapat katakan ialah bahwa salah seorang di antara kalian adalah juruselamat."
Sekembalinya dari pertemuan dengan Penilik Jemaat, Pendeta itu menceritakan apa yang telah dikatakan Penilik Jemaat. Selama beberapa bulan berikutnya semua anggota jemaat mulai merenungkan perkataan Penilik Jemaat. "Salah seorang di antara kita adalah juruselamat?" Ketika mulai memikirkan kemungkinan itu, mereka mulai memperlakukan satu sama lain dengan penuh hormat, dengan harapan mereka melakukannya untuk sang juruselamat. Selain itu mereka juga saling memperlakukan satu sama lain dengan kepedulian yang luar biasa.
Dengan berlalunya waktu, orang-orang yang datang ke gereja itu melihat aura yang istimewa yang penuh hormat dan kepedulian yang sangat luar biasa diantara kelima anggota gereja. Tanpa disadari orang-orang mulai datang lagi ke gereja itu. Orang-orang mulai mengajak teman-temannya, dan teman-temannya mengajak teman-temannya yang lain. Dalam waktu beberapa tahun saja gereja itu kembali menjadi gereja yang hidup, yang penuh terobosan karena ada rasa saling hormat dan kepedulian satu sama lain yang luar biasa, berkat hadiah dari seorang pensiunan Penilik Jemaat. Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, 1 Nopember 2009.
******
The Bishop's Gift
Once a church had fallen upon hard times. Only five members were left: the pastor and four others, all over 60 years old.
In the mountains near the church there lived a retired Bishop. It occurred to the pastor to ask the Bishop if he could offer any advice that might save the church. The pastor and the Bishop spoke at length, but when asked for advice, the Bishop simply responded by saying, "I have no advice to give. The only thing I can tell you is that the Messiah is one of you."
The pastor, returning to the church, told the church members what the Bishop had said. In the months that followed, the old church members pondered the words of the Bishop. "The Messiah is one of us?" they each asked themselves. As they thought about this possibility, they all began to treat each other with extraordinary respect on the off chance that that one among them might be the Messiah. And on the off, off chance that each member himself might be the Messiah, they also began to treat themselves with extraordinary care.
As time went by, people visiting the church noticed the aura of respect and gentle kindness that surrounded the five old members of the small church. Hardly knowing why, more people began to come back to the church. They began to bring their friends, and their friends brought more friends. Within a few years, the small church had once again become a thriving church, thanks to the Bishop's gift.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
**************
Personal Note:
Terima kasih atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" oleh Bapak Yongky dari NYC, pesanan akan dikirim via Surabaya dan akan dibawa oleh Tim Pria Sejati yang akan berangkat ke New York City. God bless you.
Tuesday, October 27, 2009
Sharing Your Blessings
Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik kesuksesan tanaman jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes hasil pertanian.
Ketika ditanya rahasianya, sang petani termenung lama karena tidak terpikirkan sedikitpun hal unik yang dilakukannya. Ia bahkan selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya kepada petani-petani tetangga di sekitar perkebunannya. Sang wartawan sedikit aneh dengan cara kerja petani itu dan bertanya, "Mengapa Anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu kepada tetangga-tetangga Anda?" Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?"
Sang petani kemudian menjawab, "Angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga di perkebunan dan menyebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang diterbangkan ke ladang saya juga akan buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Kalau saya ingin mendapatkan hasil jagung yang terbaik, saya harus menolong para tetangga saya untuk mendapatkan jagung yang terbaik pula."
Demikian pula halnya dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus terlebih dahulu menolong orang lain menjadi berhasil. Mereka yang menginginkan hidup yang baik harus menolong orang lain memperoleh hidup yang baik pula. Nilai kehidupan kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang kita sentuh. Darmadi Darmawangsa, dimuat di Majalah Kawasan edisi Oktober 2009.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Ketika ditanya rahasianya, sang petani termenung lama karena tidak terpikirkan sedikitpun hal unik yang dilakukannya. Ia bahkan selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya kepada petani-petani tetangga di sekitar perkebunannya. Sang wartawan sedikit aneh dengan cara kerja petani itu dan bertanya, "Mengapa Anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu kepada tetangga-tetangga Anda?" Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?"
Sang petani kemudian menjawab, "Angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga di perkebunan dan menyebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang diterbangkan ke ladang saya juga akan buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Kalau saya ingin mendapatkan hasil jagung yang terbaik, saya harus menolong para tetangga saya untuk mendapatkan jagung yang terbaik pula."
Demikian pula halnya dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus terlebih dahulu menolong orang lain menjadi berhasil. Mereka yang menginginkan hidup yang baik harus menolong orang lain memperoleh hidup yang baik pula. Nilai kehidupan kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang kita sentuh. Darmadi Darmawangsa, dimuat di Majalah Kawasan edisi Oktober 2009.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Thursday, October 22, 2009
A Puppy
Anak Anjing
Seorang petani mempunyai beberapa anak anjing yang akan di jualnya. Dia menulisi papan untuk mengiklankan anak-anak anjing tersebut, dan memakukannya pada tiang di pinggir halamannya.
Ketika dia sedang dalam perjalanan untuk memasangnya, dia merasakan tarikan pada bajunya. Dia memandang ke bawah dan bertemu mata dengan seorang anak laki-laki kecil.
"Tuan," anak itu berkata, "Saya ingin membeli salah satu anak anjing anda."
"Yah," kata si petani, sambil mengusap keringat di lehernya, "Anak-anak anjing ini berasal dari keturunan yang bagus dan cukup mahal harganya."
Anak itu tertunduk sejenak, kemudian merogoh ke dalam saku bajunya, Ia menarik segenggam uang receh dan menunjukkannya kepada si petani.
"Saya punya tiga puluh sembilan sen. Apakah ini cukup untuk membelinya?"
"Tentu," kata si petani yang kemudian bersiul " Dolly, kemari!" panggilnya.
Dolly keluar dari rumah anjingnya dan berlari turun diikuti oleh anak-anaknya. Si anak laki-laki tersebut menempelkan wajahnya ke pagar, matanya bersinar-sinar. Sementara anjing-anjing tersebut berlarian menuju pagar, perhatian anak laki-laki tersebut beralih pada sesuatu yg bergerak di rumah anjing.
Perlahan keluarlah seekor anak anjing, lebih kecil dari yang lain. Ia berlari menuruni lereng dan terpeleset. Kemudian dengan terpincang-pincang berlari, berusaha menyusul yang lain.
"Aku mau yang itu," kata si anak, menunjuk pada yg anak anjing kecil itu.
Sang petani berjongkok disampingnya dan berkata," Nak, kau tidak akan mau anak anjing yang itu, dia tidak akan bisa berlari dan bermain bersamamu seperti yang bisa dilakukan anak-anak anjing lainnya."
Anak itu melangkah menjauh dari pagar, meraih ke bawah, menggulung celana di salah satu kakinya, memperlihatkan penguat kaki dari logam yang melingkari kakinya hingga sepatu yg di buat khusus untuknya.
Ia memandang sang petani, dan berkata, "Anda lihat, tuan, saya juga tidak bisa berlari, dan anak anjing itu memerlukan seseorang yang memahaminya." Email kiriman Gunawan Kartajaya/Milis Rohani.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Seorang petani mempunyai beberapa anak anjing yang akan di jualnya. Dia menulisi papan untuk mengiklankan anak-anak anjing tersebut, dan memakukannya pada tiang di pinggir halamannya.
Ketika dia sedang dalam perjalanan untuk memasangnya, dia merasakan tarikan pada bajunya. Dia memandang ke bawah dan bertemu mata dengan seorang anak laki-laki kecil.
"Tuan," anak itu berkata, "Saya ingin membeli salah satu anak anjing anda."
"Yah," kata si petani, sambil mengusap keringat di lehernya, "Anak-anak anjing ini berasal dari keturunan yang bagus dan cukup mahal harganya."
Anak itu tertunduk sejenak, kemudian merogoh ke dalam saku bajunya, Ia menarik segenggam uang receh dan menunjukkannya kepada si petani.
"Saya punya tiga puluh sembilan sen. Apakah ini cukup untuk membelinya?"
"Tentu," kata si petani yang kemudian bersiul " Dolly, kemari!" panggilnya.
Dolly keluar dari rumah anjingnya dan berlari turun diikuti oleh anak-anaknya. Si anak laki-laki tersebut menempelkan wajahnya ke pagar, matanya bersinar-sinar. Sementara anjing-anjing tersebut berlarian menuju pagar, perhatian anak laki-laki tersebut beralih pada sesuatu yg bergerak di rumah anjing.
Perlahan keluarlah seekor anak anjing, lebih kecil dari yang lain. Ia berlari menuruni lereng dan terpeleset. Kemudian dengan terpincang-pincang berlari, berusaha menyusul yang lain.
"Aku mau yang itu," kata si anak, menunjuk pada yg anak anjing kecil itu.
Sang petani berjongkok disampingnya dan berkata," Nak, kau tidak akan mau anak anjing yang itu, dia tidak akan bisa berlari dan bermain bersamamu seperti yang bisa dilakukan anak-anak anjing lainnya."
Anak itu melangkah menjauh dari pagar, meraih ke bawah, menggulung celana di salah satu kakinya, memperlihatkan penguat kaki dari logam yang melingkari kakinya hingga sepatu yg di buat khusus untuknya.
Ia memandang sang petani, dan berkata, "Anda lihat, tuan, saya juga tidak bisa berlari, dan anak anjing itu memerlukan seseorang yang memahaminya." Email kiriman Gunawan Kartajaya/Milis Rohani.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Thursday, September 17, 2009
Richness of Living
Richness of Living (Bilingual: English and Indonesian Version)
My aunt is really rich. She doesn’t have a big bank account though. Still, I have known her to share the last penny in it to help someone in need. She doesn’t have a fancy new car either, but she gets the most out of her old used one giving rides to friends who can no longer drive themselves. Her home is no mansion. Yet, my childhood visits to it have filled my mind with treasured memories and my heart with priceless happiness. My aunt’s riches come instead from the places that high prices and inflation can never lessen. My aunt’s riches come from her loving soul, her generous spirit, and her joyous life.
Every time I speak with her on the phone or get a card from her in the mail, the richness of that life shines though. Her gentle laughter has brightened my day many times over the years. Her optimism and faith have strengthened my own as well. Her kindness, caring, and happiness have helped so many people, touched so many souls, and done so much good in this world. When it comes to the treasures of Heaven, she will forever be one of the wealthiest people I know. When it comes to finding the joy in living, she will always be rich beyond compare. I only pray that one day we all can live with such priceless love.
Leo Buscaglia once wrote that, “We find the greatest riches where we find the joy in living; since we serve God and ourselves best in joy, it seems to be the only sensible goal in life.” My dear aunt learned this a long time ago and she has spent her whole life teaching it to others as well. I am proud to have been one of her students and taken her course in the “Richness of Living 101.” Thanks to her I daily choose more love, more joy, more laughter, and more life. Thanks to her I seek and share the treasures of Heaven always. Thanks to her I am far wealthier in oneness with God. May your own life grow rich as well in the things that truly matter. By Joseph J. Mazzella/Email from bapak Wawan S.T
*******
Kekayaan Hidup
Tante saya sungguh-sungguh kaya. Meskipun demikian, dia tidak mempunyai rekening bank yang banyak isinya. Saya masih saja melihat dia mengeluarkan uang terakhir dari rekening banknya untuk menolong orang lain yang sedang dalam kebutuhan. Dia juga tidak mempunyai mobil mewah, tetapi dia menggunakan mobil bekas yang tua untuk membawa teman-temannya yang sudah tidak dapat menyetir sendiri. Rumahnya bukanlah gedung mewah. Namun kunjungan saya di masa kecil ke rumahnya membuat pikiran saya dipenuhi dengan kenangan indah dan sangat berharga, dan hati saya diliputi kebahagiaan yang tak bernilai. Kekayaan tante saya datang bukan dari tempat yang terpengaruh inflasi dan kenaikan harga, sehingga kekayaannya dapat berkurang. Kekayaan tante saya datang dari jiwa yang penuh kasih, hati yang penuh kemurahan, dan kehidupan yang penuh sukacita.
Setiap kali saya mendengar suaranya di telpon atau menerima kartu ucapan darinya, kekayaan dari kehidupannya memancar keluar. Tawanya yang riang telah membuat hari-hari saya bersinar selama bertahun-tahun. Sikapnya yang penuh optimisme dan imannya telah memperkuat diri saya juga. Kebaikannya, kepeduliannya, dan kebahagiaannya telah menolong begitu banyak orang, menyentuh kehidupan banyak orang, dan telah membuat banyak kebaikan di dunia ini. Jika kita berbicara tentang harta di sorga, selamanya dia akan menjadi orang paling kaya yang saya kenal. Jika kita berbicara tentang menemukan sukacita dalam kehidupan, dia akan menjadi orang paling kaya yang tak tertandingi. Saya hanya dapat berdoa semoga kita dapat hidup seperti dia.
Leo Buscaglia pernah menulis, "Kita menemukan harta terbesar ketika kita menemukan sukacita dalam kehidupan. Kita dapat melayani Tuhan dan sesama kita dengan sangat baik jika kita lakukan dengan sukacita. Itulah sasaran yang paling masuk akal bagi kita. Tante saya telah menemukan hal ini bertahun tahun yang lalu dan dia telah mengajarkannya kepada banyak orang sepanjang kehidupannya. Saya bangga telah menjadi muridnya dan belajar kursus tentang "Kekayaan dalam Kehidupan 101". Berkat tante saya, sekarang saya setiap hari memilih lebih banyak kasih, lebih banyak sukacita, lebih banyak tawa, dan lebih banyak kehidupan. Berkat dia saya selalu mencari dan membagikan harta kekayaan sorgawi. Berkat dia saya jauh lebih kaya dalam hubungan saya dengan Tuhan. Semoga hidup Anda juga lebih kaya dalam perkara-perkara yang berarti di dunia ini.
Oleh Joseph J. Mazzella/Email from bapak Wawan S.T/Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada tanggal 17 September 2009.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
My aunt is really rich. She doesn’t have a big bank account though. Still, I have known her to share the last penny in it to help someone in need. She doesn’t have a fancy new car either, but she gets the most out of her old used one giving rides to friends who can no longer drive themselves. Her home is no mansion. Yet, my childhood visits to it have filled my mind with treasured memories and my heart with priceless happiness. My aunt’s riches come instead from the places that high prices and inflation can never lessen. My aunt’s riches come from her loving soul, her generous spirit, and her joyous life.
Every time I speak with her on the phone or get a card from her in the mail, the richness of that life shines though. Her gentle laughter has brightened my day many times over the years. Her optimism and faith have strengthened my own as well. Her kindness, caring, and happiness have helped so many people, touched so many souls, and done so much good in this world. When it comes to the treasures of Heaven, she will forever be one of the wealthiest people I know. When it comes to finding the joy in living, she will always be rich beyond compare. I only pray that one day we all can live with such priceless love.
Leo Buscaglia once wrote that, “We find the greatest riches where we find the joy in living; since we serve God and ourselves best in joy, it seems to be the only sensible goal in life.” My dear aunt learned this a long time ago and she has spent her whole life teaching it to others as well. I am proud to have been one of her students and taken her course in the “Richness of Living 101.” Thanks to her I daily choose more love, more joy, more laughter, and more life. Thanks to her I seek and share the treasures of Heaven always. Thanks to her I am far wealthier in oneness with God. May your own life grow rich as well in the things that truly matter. By Joseph J. Mazzella/Email from bapak Wawan S.T
*******
Kekayaan Hidup
Tante saya sungguh-sungguh kaya. Meskipun demikian, dia tidak mempunyai rekening bank yang banyak isinya. Saya masih saja melihat dia mengeluarkan uang terakhir dari rekening banknya untuk menolong orang lain yang sedang dalam kebutuhan. Dia juga tidak mempunyai mobil mewah, tetapi dia menggunakan mobil bekas yang tua untuk membawa teman-temannya yang sudah tidak dapat menyetir sendiri. Rumahnya bukanlah gedung mewah. Namun kunjungan saya di masa kecil ke rumahnya membuat pikiran saya dipenuhi dengan kenangan indah dan sangat berharga, dan hati saya diliputi kebahagiaan yang tak bernilai. Kekayaan tante saya datang bukan dari tempat yang terpengaruh inflasi dan kenaikan harga, sehingga kekayaannya dapat berkurang. Kekayaan tante saya datang dari jiwa yang penuh kasih, hati yang penuh kemurahan, dan kehidupan yang penuh sukacita.
Setiap kali saya mendengar suaranya di telpon atau menerima kartu ucapan darinya, kekayaan dari kehidupannya memancar keluar. Tawanya yang riang telah membuat hari-hari saya bersinar selama bertahun-tahun. Sikapnya yang penuh optimisme dan imannya telah memperkuat diri saya juga. Kebaikannya, kepeduliannya, dan kebahagiaannya telah menolong begitu banyak orang, menyentuh kehidupan banyak orang, dan telah membuat banyak kebaikan di dunia ini. Jika kita berbicara tentang harta di sorga, selamanya dia akan menjadi orang paling kaya yang saya kenal. Jika kita berbicara tentang menemukan sukacita dalam kehidupan, dia akan menjadi orang paling kaya yang tak tertandingi. Saya hanya dapat berdoa semoga kita dapat hidup seperti dia.
Leo Buscaglia pernah menulis, "Kita menemukan harta terbesar ketika kita menemukan sukacita dalam kehidupan. Kita dapat melayani Tuhan dan sesama kita dengan sangat baik jika kita lakukan dengan sukacita. Itulah sasaran yang paling masuk akal bagi kita. Tante saya telah menemukan hal ini bertahun tahun yang lalu dan dia telah mengajarkannya kepada banyak orang sepanjang kehidupannya. Saya bangga telah menjadi muridnya dan belajar kursus tentang "Kekayaan dalam Kehidupan 101". Berkat tante saya, sekarang saya setiap hari memilih lebih banyak kasih, lebih banyak sukacita, lebih banyak tawa, dan lebih banyak kehidupan. Berkat dia saya selalu mencari dan membagikan harta kekayaan sorgawi. Berkat dia saya jauh lebih kaya dalam hubungan saya dengan Tuhan. Semoga hidup Anda juga lebih kaya dalam perkara-perkara yang berarti di dunia ini.
Oleh Joseph J. Mazzella/Email from bapak Wawan S.T/Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada tanggal 17 September 2009.
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Friday, September 11, 2009
The Inspiring Story of CNN Heroes: An Indonesian SQ Pilot
Di Panti Asuhan Roslin, anak-anak tertawa geli setelah lama berkonsentrasi latihan membawakan Tari Ayam. Itu adalah suara gembira dari sebuah Panti Asuhan di Indonesia setelah bertahun-tahun lamanya. “Mereka sekarang ceria dan fotogenik, namun di dalam diri mereka ada kisah-kisah yang menyedihkan,” kata Budi Soehardi, pendiri panti asuhan di Timor Barat.
“Beberapa bayi itu datang ke sini karena ibunya meninggal segera setelah melahirkan karena kekurangan gizi. Anak-anak yang lain datang karena kemiskinan yang parah. Sebagian lagi datang karena keluarga mereka tidak menginginkan mereka dan meninggalkan mereka di sini,” kata Soehardi, usia 53 tahun, pilot asal Indonesia yang tinggal di Singapura bersama istrinya, Peggy, yang merawat 47 anak-anak di panti asuhan itu. Soehardi dan Peggy mempunyai hubungan pribadi dengan masing-masing anak, dan menganggap mereka semua sebagai bagian keluarganya. Pasangan ini memberi nama pada anak-anak itu karena anak-anak itu kebanyakan datang sejak bayi, beberapa merupakan korban konflik dan pengungsi dari Timor Timur.
Soehardi sendiri memiliki tiga orang anak, namun dia mengaku bahwa tak ada perbedaan perlakuan terhadap anak-anak kandungnya sendiri dan terhadap anak-anak di panti. Mereka semua yang ada dip anti mendapatkan tempat tinggal yang bersih, vaksinasi, makanan, pakaian dan vitamin dari Amerika Serikat.
“Pak Budi sudah menjadi ayah kami sendiri,” kata Gerson Mangi, usia 20 tahun, penghuni di Panti Asuhan Roslin. Mangi yang datang ke panti asuhan ini pada usia 12 tahun, dahulu tidak mempunyai dana untuk bersekolah setelah kedua orangtuanya meninggal. Sekarang, berkat pendidikan di Roslin dan beasiswa dari Soehardi dia sedang kuliah di sekolah kedokteran.
Soehardi yang ayahnya meninggal ketika dia berusia Sembilan tahun, dapat menyelami penderitaan anak-anak yatim piatu tersebut. “Waktu itu saya sulit mendapatkan makanan dan saya sukar mendapat uang untuk sekolah,” kata Soehardi mengenang. “Para pengungsi itu sungguh-sungguh menyentuh hati saya sehingga saya ingin mereka hidup lebih baik,”
Budi Soehardi, salah seorang yang diangkat sebagai Pahlawan CNN, seorang pilot SQ asal Indonesia, sedang makan malam dan menonton tayangan CNN bersama istri dan keluarganya di rumahnya di Singapura ketika dia melihat rombongan para pengungsi yang lari dari Timor Timur ke Timor Barat, Indonesia. Banyak keluarga tinggal di bawah atap kardus, anak-anak memakai kain rombengan sebagai pakaian, dan sanitasi tak ada.
“Mereka sangat menderita,” kata Soehardi. Keadaan yang sangat buruk tersebut merupakan akibat konflik di Timor Timur yang muncul ke permukaan setelah rakyat memilih untuk merdeka dari Indonesia. Soehardi yang pekerjaannya adalah sebagai seorang pilot di Singapore Airlines yang sering harus terbang jarak jauh dari New Jersey ke Singapura, telah merencanakan untuk berlibur segera. Namun melihat tayangan berita di Timor Timur itu membuat Soehardi memikirkan ulang rencananya.
“Saya dan istri saya saling melihat satu sama lain dan kami mempunyai pikiran masing-masing. ‘Hey, mari kita melakukan sesuatu yang lain. Mengapa kita tidak mengunjungi Timor Timur … untuk mendapatkan pengalaman liburan yang berbeda?’”kata Soehardi.
Dia mulai mengkoordinir sumbangan keuangan, makanan, pakaian, obat-obatan, perlengkapan medis dan perlengkapan toiletries (sabun, tissue, popok, pampers, pembalut wanita dll) . Dengan bantuan dari teman-teman dan para sukarelawan, keluarga Soehardi berkeliling di daerah-daerah yang dilanda konflik dan mengirim lebih dari 40 ton barang sumbangan ke camp pengungsian di Timor Timur.
Segera keluarga Soehardi menentukan bahwa di Timor Barat harus ada panti asuhan. “Istri saya mula-mula meminta saya untuk membangun panti dengan tiga kamar saja. Dua jam kemudian istri saya meminta lima kamar, dan kemudian akhirnya sembilan kamar.” Mereka selesai membangun gedung panti asuhan dalam waktu 11 bulan dan menamai panti tersebut “Panti Asuhan Roslin”, menurut nama sepasang gadis Timor yang diangkat anak oleh Peggy, istri Soehardi.
Pada bulan April 2002, panti asuhan itu dibuka dan menyediakan tempat tinggal bagi empat orang anak-anak. Sejak saat itu panti asuhan itu berkembang dan menyediakan pendidikan gratis, menyediakan pakaian, perumahan, dan makan bagi 47 orang anak dari segala umur, dari bayi-bayi yang baru lahir sampai usia universitas. Sekitar setengah dari penghuni panti itu adalah anak-anak di bawah usia delapan tahun.
Panti Asuhan tersebut dibangun di atas tanah sumbangan yang semula tanah gersang. Namun kini, nasi yang disediakan bagi anak-anak itu dituai dari tanah mereka sendirri. “Kami berani menghadapi tantangan,” kata Soehardi tentang upayanya menyediakan irigasi bagi sawahnya. Peggy dan dirinya, yang tidak terlatih di bidang pertanian, menggunakan dua pompa dan sebuah genset untuk mengairi persawahan. Kemudian mereka mulai menanam padi. “Seratus hari kemudian, kami mendapatkan panen padi yang pertama dan menyatakan bahwa kami dapat hidup mandiri dengan beras dari sawah kami bagi anak-anak panti asuhan,” katanya.
Itulah taktik menghemat biaya yang berhasil, khususnya penting setelah Soehardi kehilangan pekerjaannya sebagai pilot di Singapore Airlines pada bulan November 2008 karena krisis ekonomi global. Soehardi, yang gaji pilotnya disumbangkan untuk membiayai Panti Asuhan dan memberi bea siswa bagi Mangi, mahasiswa sekolah kedokteran, berharap bahwa pemberhentian kontraknya sebagai pilot tidak akan mempengaruhi kesejahteraan anak-anak panti. “Saya sangat berterima kasih kepada Singapore Airlines yang telah memberi saya pekerjaan yang sangat baik selama 11 tahun sehingga saya dapat membagi gaji saya dengan banyak orang. Menolong anak-anak itu merupakan hak istimewa bagi saya dan keluarga saya karena dengan cara itu saya mengembalikan berkat yang saya terima kepada masyarakat.” Sumber: CNN, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada tanggal 11 September 2009.
*****
KUPANG, Indonesia (CNN) -- At Roslin Orphanage, children giggle through deep concentration as they try to master the "Chicken Dance." It's a far cry from the Indonesian orphans' earlier months and years.
"They are cheerful-looking and photogenic, but close to all have a very sad story," said Budi Soehardi, founder of the West Timor orphanage.
"Some of the babies come because a mother passes away right after delivery because of lack of nutrition. Others come from extreme poverty. Some come from families [that] just do not want the children and abandon them," he said.
Soehardi, a 53-year-old Indonesian pilot living in Singapore, and his wife, Peggy, look after 47 children at the orphanage. They have a personal relationship with each one, and consider them part of their family. The couple named many of the children since they entered the orphanage as babies -- some of them tiny victims and refugees from the conflict in East Timor.
Soehardi has three children of his own but says there is no difference between what he supplies for his biological children and those living at the orphanage. They all get clean living spaces, vaccinations, food, clothing and vitamins from the United States.
"Mr. Budi is like my own father," said Gerson Mangi, 20, a resident at Roslin Orphanage. Mangi, who came to the orphanage when he was 12 years old, had no means to attend school after his parents died. Now, thanks to the educational training at Roslin and a private sponsor, he is in medical school.
Soehardi, whose father died when he was 9 years old, can relate to these young people's hardships.
"Food was hard to come by and my school fee was very difficult," Soehardi said. "The refugees just really strike me so badly and [I want] them to be better off."
Soehardi was eating dinner and watching CNN with his wife and family at home in Singapore when he saw the plight of the refugees fleeing East Timor for West Timor, Indonesia. Families were living in cardboard boxes, children were wearing rags for clothes, and sanitation was nonexistent.
"It was devastating," Soehardi said.
The poor conditions were a result of conflicts in East Timor that surfaced after the residents voted for independence from Indonesia. Soehardi -- whose job as a pilot with Singapore Airlines often had him flying one of the world's longest routes, from Newark, New Jersey, to Singapore -- had been planning on taking a vacation soon. But watching the news made the Soehardis rethink their plans.
"[My wife and I] look at each other and we have a thought of our own. ... 'Hey, let's do something else. Why don't we visit the place ... to make a different kind of holiday,' " Soehardi said.
He began coordinating financial donations, food, clothing and supplies. With help from friends and ground volunteers, the Soehardis navigated the conflict-ridden areas and delivered more than 40 tons of food, medical supplies and toiletries to East Timor refugee camps.
Soon the Soehardis determined West Timor could use a space for orphans.
"My wife was initially asking me to build three rooms. Then two hours later she [asked for] five rooms, and then later nine rooms and finally, the orphanage building."
They completed their orphanage building in 11 months and named it Roslin Orphanage, after a pair of Timorese women whom Peggy looked up to as a girl.
In April 2002, the orphanage opened and provided a home for four children. Since then the residence has expanded to provide free education, clothing, housing and food for 47 children of all ages, newborns to university-age. About half of its residents are younger than 8 years old. Watch Soehardi teach the children the alphabet »
The orphanage was built on donated land that the Soehardis initially thought bore barren soil. But today, the rice they feed the children comes solely from their own land.
"We dared to take the challenge," said Soehardi of his foray into irrigation. He and Peggy, who are not trained in agriculture, used two pumps and a generator to get water for irrigation.
Then they began planting rice. "One hundred days later, we were having our first harvest and declared ourselves to be self-sufficient on rice for the orphanage children," he said. Watch Soehardi explain how he made the land more fertile »
It's a fortunate cost-cutting tactic, especially with Soehardi losing his piloting job with Singapore Airlines in November because of the struggling economy.
Soehardi, whose pilot salary goes toward maintaining the orphanage and funding medical student Mangi's education, is hopeful that the end of his contract will not affect the children's well-being.
"I'm very grateful for Singapore Airlines who has given me a very good job for the last 11 years so that I can share my salary with so many people. To help these children is a privilege for me and my wife because it's giving back to society ... giving back what has been blessed to us."
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
“Beberapa bayi itu datang ke sini karena ibunya meninggal segera setelah melahirkan karena kekurangan gizi. Anak-anak yang lain datang karena kemiskinan yang parah. Sebagian lagi datang karena keluarga mereka tidak menginginkan mereka dan meninggalkan mereka di sini,” kata Soehardi, usia 53 tahun, pilot asal Indonesia yang tinggal di Singapura bersama istrinya, Peggy, yang merawat 47 anak-anak di panti asuhan itu. Soehardi dan Peggy mempunyai hubungan pribadi dengan masing-masing anak, dan menganggap mereka semua sebagai bagian keluarganya. Pasangan ini memberi nama pada anak-anak itu karena anak-anak itu kebanyakan datang sejak bayi, beberapa merupakan korban konflik dan pengungsi dari Timor Timur.
Soehardi sendiri memiliki tiga orang anak, namun dia mengaku bahwa tak ada perbedaan perlakuan terhadap anak-anak kandungnya sendiri dan terhadap anak-anak di panti. Mereka semua yang ada dip anti mendapatkan tempat tinggal yang bersih, vaksinasi, makanan, pakaian dan vitamin dari Amerika Serikat.
“Pak Budi sudah menjadi ayah kami sendiri,” kata Gerson Mangi, usia 20 tahun, penghuni di Panti Asuhan Roslin. Mangi yang datang ke panti asuhan ini pada usia 12 tahun, dahulu tidak mempunyai dana untuk bersekolah setelah kedua orangtuanya meninggal. Sekarang, berkat pendidikan di Roslin dan beasiswa dari Soehardi dia sedang kuliah di sekolah kedokteran.
Soehardi yang ayahnya meninggal ketika dia berusia Sembilan tahun, dapat menyelami penderitaan anak-anak yatim piatu tersebut. “Waktu itu saya sulit mendapatkan makanan dan saya sukar mendapat uang untuk sekolah,” kata Soehardi mengenang. “Para pengungsi itu sungguh-sungguh menyentuh hati saya sehingga saya ingin mereka hidup lebih baik,”
Budi Soehardi, salah seorang yang diangkat sebagai Pahlawan CNN, seorang pilot SQ asal Indonesia, sedang makan malam dan menonton tayangan CNN bersama istri dan keluarganya di rumahnya di Singapura ketika dia melihat rombongan para pengungsi yang lari dari Timor Timur ke Timor Barat, Indonesia. Banyak keluarga tinggal di bawah atap kardus, anak-anak memakai kain rombengan sebagai pakaian, dan sanitasi tak ada.
“Mereka sangat menderita,” kata Soehardi. Keadaan yang sangat buruk tersebut merupakan akibat konflik di Timor Timur yang muncul ke permukaan setelah rakyat memilih untuk merdeka dari Indonesia. Soehardi yang pekerjaannya adalah sebagai seorang pilot di Singapore Airlines yang sering harus terbang jarak jauh dari New Jersey ke Singapura, telah merencanakan untuk berlibur segera. Namun melihat tayangan berita di Timor Timur itu membuat Soehardi memikirkan ulang rencananya.
“Saya dan istri saya saling melihat satu sama lain dan kami mempunyai pikiran masing-masing. ‘Hey, mari kita melakukan sesuatu yang lain. Mengapa kita tidak mengunjungi Timor Timur … untuk mendapatkan pengalaman liburan yang berbeda?’”kata Soehardi.
Dia mulai mengkoordinir sumbangan keuangan, makanan, pakaian, obat-obatan, perlengkapan medis dan perlengkapan toiletries (sabun, tissue, popok, pampers, pembalut wanita dll) . Dengan bantuan dari teman-teman dan para sukarelawan, keluarga Soehardi berkeliling di daerah-daerah yang dilanda konflik dan mengirim lebih dari 40 ton barang sumbangan ke camp pengungsian di Timor Timur.
Segera keluarga Soehardi menentukan bahwa di Timor Barat harus ada panti asuhan. “Istri saya mula-mula meminta saya untuk membangun panti dengan tiga kamar saja. Dua jam kemudian istri saya meminta lima kamar, dan kemudian akhirnya sembilan kamar.” Mereka selesai membangun gedung panti asuhan dalam waktu 11 bulan dan menamai panti tersebut “Panti Asuhan Roslin”, menurut nama sepasang gadis Timor yang diangkat anak oleh Peggy, istri Soehardi.
Pada bulan April 2002, panti asuhan itu dibuka dan menyediakan tempat tinggal bagi empat orang anak-anak. Sejak saat itu panti asuhan itu berkembang dan menyediakan pendidikan gratis, menyediakan pakaian, perumahan, dan makan bagi 47 orang anak dari segala umur, dari bayi-bayi yang baru lahir sampai usia universitas. Sekitar setengah dari penghuni panti itu adalah anak-anak di bawah usia delapan tahun.
Panti Asuhan tersebut dibangun di atas tanah sumbangan yang semula tanah gersang. Namun kini, nasi yang disediakan bagi anak-anak itu dituai dari tanah mereka sendirri. “Kami berani menghadapi tantangan,” kata Soehardi tentang upayanya menyediakan irigasi bagi sawahnya. Peggy dan dirinya, yang tidak terlatih di bidang pertanian, menggunakan dua pompa dan sebuah genset untuk mengairi persawahan. Kemudian mereka mulai menanam padi. “Seratus hari kemudian, kami mendapatkan panen padi yang pertama dan menyatakan bahwa kami dapat hidup mandiri dengan beras dari sawah kami bagi anak-anak panti asuhan,” katanya.
Itulah taktik menghemat biaya yang berhasil, khususnya penting setelah Soehardi kehilangan pekerjaannya sebagai pilot di Singapore Airlines pada bulan November 2008 karena krisis ekonomi global. Soehardi, yang gaji pilotnya disumbangkan untuk membiayai Panti Asuhan dan memberi bea siswa bagi Mangi, mahasiswa sekolah kedokteran, berharap bahwa pemberhentian kontraknya sebagai pilot tidak akan mempengaruhi kesejahteraan anak-anak panti. “Saya sangat berterima kasih kepada Singapore Airlines yang telah memberi saya pekerjaan yang sangat baik selama 11 tahun sehingga saya dapat membagi gaji saya dengan banyak orang. Menolong anak-anak itu merupakan hak istimewa bagi saya dan keluarga saya karena dengan cara itu saya mengembalikan berkat yang saya terima kepada masyarakat.” Sumber: CNN, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada tanggal 11 September 2009.
*****
KUPANG, Indonesia (CNN) -- At Roslin Orphanage, children giggle through deep concentration as they try to master the "Chicken Dance." It's a far cry from the Indonesian orphans' earlier months and years.
"They are cheerful-looking and photogenic, but close to all have a very sad story," said Budi Soehardi, founder of the West Timor orphanage.
"Some of the babies come because a mother passes away right after delivery because of lack of nutrition. Others come from extreme poverty. Some come from families [that] just do not want the children and abandon them," he said.
Soehardi, a 53-year-old Indonesian pilot living in Singapore, and his wife, Peggy, look after 47 children at the orphanage. They have a personal relationship with each one, and consider them part of their family. The couple named many of the children since they entered the orphanage as babies -- some of them tiny victims and refugees from the conflict in East Timor.
Soehardi has three children of his own but says there is no difference between what he supplies for his biological children and those living at the orphanage. They all get clean living spaces, vaccinations, food, clothing and vitamins from the United States.
"Mr. Budi is like my own father," said Gerson Mangi, 20, a resident at Roslin Orphanage. Mangi, who came to the orphanage when he was 12 years old, had no means to attend school after his parents died. Now, thanks to the educational training at Roslin and a private sponsor, he is in medical school.
Soehardi, whose father died when he was 9 years old, can relate to these young people's hardships.
"Food was hard to come by and my school fee was very difficult," Soehardi said. "The refugees just really strike me so badly and [I want] them to be better off."
Soehardi was eating dinner and watching CNN with his wife and family at home in Singapore when he saw the plight of the refugees fleeing East Timor for West Timor, Indonesia. Families were living in cardboard boxes, children were wearing rags for clothes, and sanitation was nonexistent.
"It was devastating," Soehardi said.
The poor conditions were a result of conflicts in East Timor that surfaced after the residents voted for independence from Indonesia. Soehardi -- whose job as a pilot with Singapore Airlines often had him flying one of the world's longest routes, from Newark, New Jersey, to Singapore -- had been planning on taking a vacation soon. But watching the news made the Soehardis rethink their plans.
"[My wife and I] look at each other and we have a thought of our own. ... 'Hey, let's do something else. Why don't we visit the place ... to make a different kind of holiday,' " Soehardi said.
He began coordinating financial donations, food, clothing and supplies. With help from friends and ground volunteers, the Soehardis navigated the conflict-ridden areas and delivered more than 40 tons of food, medical supplies and toiletries to East Timor refugee camps.
Soon the Soehardis determined West Timor could use a space for orphans.
"My wife was initially asking me to build three rooms. Then two hours later she [asked for] five rooms, and then later nine rooms and finally, the orphanage building."
They completed their orphanage building in 11 months and named it Roslin Orphanage, after a pair of Timorese women whom Peggy looked up to as a girl.
In April 2002, the orphanage opened and provided a home for four children. Since then the residence has expanded to provide free education, clothing, housing and food for 47 children of all ages, newborns to university-age. About half of its residents are younger than 8 years old. Watch Soehardi teach the children the alphabet »
The orphanage was built on donated land that the Soehardis initially thought bore barren soil. But today, the rice they feed the children comes solely from their own land.
"We dared to take the challenge," said Soehardi of his foray into irrigation. He and Peggy, who are not trained in agriculture, used two pumps and a generator to get water for irrigation.
Then they began planting rice. "One hundred days later, we were having our first harvest and declared ourselves to be self-sufficient on rice for the orphanage children," he said. Watch Soehardi explain how he made the land more fertile »
It's a fortunate cost-cutting tactic, especially with Soehardi losing his piloting job with Singapore Airlines in November because of the struggling economy.
Soehardi, whose pilot salary goes toward maintaining the orphanage and funding medical student Mangi's education, is hopeful that the end of his contract will not affect the children's well-being.
"I'm very grateful for Singapore Airlines who has given me a very good job for the last 11 years so that I can share my salary with so many people. To help these children is a privilege for me and my wife because it's giving back to society ... giving back what has been blessed to us."
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Monday, August 31, 2009
The Touching Story of a Supporting Wife
Di kampung Nancao, Provinsi Henan, China, ada seorang guru bernama Du Chanyun. 17 tahun lalu, karena memperbaiki sekolah jatuh lantas lumpuh, namun semangat mengajarnya tidak luntur. Selama 17 tahun, isterinya dengan tubuh yang kokoh menggendong suaminya pergi mengajar, hari demi hari dari rumah ke sekolah berjalan ke atas gunung sepanjang 3 mil.
Menurut laporan dari website Dahe, Du Chanyun mengajar di kampung Dakou kota Liushan, tempatnya di pedalaman pegunungan Tuniu, dia menjadi tumpuan harapan dari 500 KK yang tersebar di kampung Dakou.
1981 Du Chanyun tamat SMA pada umur 19 tahun, dia lantas menjadi seorang Guru di kampung Dakou. Sepuluh tahun setelah itu, setiap bulan dia hanya memperoleh gaji guru sebesar RB. 6.5 (Kira-kira Rp. 7.000,-).
Bencana itu datang pada tahun 1990. Musim Panas tahun itu, hujan badai membasahi ruangan kelas sekolahnya. Ketika liburan musim panas, orang-orang di kampung itu mengumpulkan uang memperbaiki sekolah, Du Chanyun begitu bersemangat bekerja, kehujanan pun tetap kerja memindahkan batu, seluruh badan basah kuyup. Akhirnya pada suatu hari, dia jatuh sakit, sakit berat karena kehujanan dan capek.
Setelah sembuh dia mendapatkan, bahwa dia sudah tidak dapat berdiri lagi, tubuhnya sisi kiri tidak dapat bergerak. Dia khawatir, mengajar akan menjadi sebuah mimpi yang jauh.
Istrinya Li Zhengjie melihat apa isi hatinya, lantas menentramkannya, "Kamu jangan kuatir, kamu tidak bisa jalan, sampai panggung pun saya akan menggendongmu." Istri seorang penduduk di kampung yang buta huruf, akhirnya memikul tanggung jawab menggendong suaminya yang menjadi guru, dari rumah sampai sekolah, setiap hari 6 mil.
Menggunakan tubuhnya menopang suami
Sejak 1 September 1990, setiap pagi istrinya Li Zhengjie bangun menanak nasi, membangunkan 4 anggota keluarganya, setelah makan menggendong suaminya berangkat.
Sepanjang jalan, meraba, merangkak jatuh bangun sampai tiba di sekolah, setelah istri menempatkan suaminya, kemudian menitip pesan ke beberapa murid yang agak besar, lantas tergesa-gesa pulang, di rumah masih ada 2 hektar sawah yang menunggunya untuk digarap.
Sejak memikul tanggung jawab mengendong suaminya, dua hal yang paling dia takuti adalah musim panas dan musim dingin.
Rumah Du Chanyun di sebelah tenggara sekolah, walaupun jarak dari rumahnya ke sekolah hanya 3 mil, namun tidak ada jalan lain, selain dari jalan tikus, dengan batu-batuan yang berserakan, ranting-ranting pohon, sungai kecil.
Pada suatu hari di musim panas, baru saja turun hujan lebat, Li Zhengjie seperti hari biasa menggendong suaminya berangkat. Air sungai yang melimpah menutup batu injakkan kakinya. Li Zhengjie sudah hati-hati meraba-raba batu pijakan, namun tidak disangka tergelincir. Arus sungai yang deras menghanyutkan mereka sampai 10 meter lebih, untung tertahan oleh ranting pohon yang melintang di hulu sungai. Setelah lebih kurang setengah jam, ayahnya yang merasa khawatir akhirnya datang. Mereka ditarik, anak dan menantunya kemudian berhasil diselamatkan, lolos dari ancaman maut.
Dalam beberapa tahun ini, Li Zhengjie terus menggendong suaminya, entah sudah berapa kali jatuh bangun. Pada mulainya, kadang-kadang suaminya jatuh di bawah, kadang-kadang Li Zhengjie jatuh di bawah. Akhirnya Li Zhengjie timbul akal, asal jatuh dia berusaha duluan jatuh di bawah, menggunakan tubuhnya yang kekar menahan batu yang mengganjal.
"Walaupun nanti kamu tidak bisa bangun lagi, saya juga akan menggendong kamu sampai tua," ujar istrinya.
Li Zhengjie siang malam kerja keras dan capek, suaminya melihat dengan jelas, hatinya merasa iba.
Pada tahun 1993, dia mulai merencanakan agar istrinya meninggalkan dia, agar tak lagi melihatnya menderita. Untuk mencapai tujuan ini, dia mengubah karakternya, sengaja cari gara-gara untuk bertengkar, dia yang mulai memakinya. Li Zhengjie yang tidak memahami merasa tertekan, setelah 2 kali ribut besar, mereka sungguh-sungguh mau bercerai.
Pada hari perceraian, Li Zhengjie menggendong suaminya naik sepeda, hati-hati mendorong suaminya ke lurah setempat. Pekerja di sana sangat mengenal sepasang suami istri yang akrab ini, begitu melihat tampang kedua orang tersebut makin gembira, "Saya tidak pernah lihat wanita menggendong suaminya ke lurah minta cerai, kalian pulang saja," teriak para petugas lurah.
Tidak sekalipun bolos mengajar
Kondisi di sekolah sangat parah, namun kedua pasang suami istri bisa memberikan pendidikan yang baik buat anak-anak, kondisi guru kurang baik, bu guru bawa anak-anak tamasya, olah raga. Tidak ada alat musik, Du Guangyun menggunakan daun membuat irama musik buat anak-anak, tidak ada poliklinik, Li Zhengjie naik ke gunung memcari obat ramuan, pada musim panas dia memasak obat pendingin buat anak-anak, pada musim dingin masak obat anti flu buat anak-anak.
Di bawah bantuan istri, dalam 17 tahun, hari demi hari, tidak terhalangi oleh angin hujan, tidak pernah bolos satu kali pun.
Data yang terkumpul dari kepala sekolah tentang hasil ujian negeri: bulan April, tingkat siswa yang lulus dari sekolah SD tersebut mencapai 100%. Tahun lalu ketika ujian masuk perguruan tinggi, ada 4 orang siswa yang dulu pernah diajari dia masuk ke perguruan tinggi, tahun ini ada 4 lagi yang lulus masuk ke spesialis.
Kini, setiap hari raya Imlek, murid-muridnya sengaja pulang ke kampung menjengut bapak dan ibu gurunya, masalah tersebut menjadi peristiwa yang sangat menggembirakan bagi sepasang suami istri guru ini.(Epochtimes.com/waa, sumber: http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/3994-seorang-istriselama-17-tahun)
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Menurut laporan dari website Dahe, Du Chanyun mengajar di kampung Dakou kota Liushan, tempatnya di pedalaman pegunungan Tuniu, dia menjadi tumpuan harapan dari 500 KK yang tersebar di kampung Dakou.
1981 Du Chanyun tamat SMA pada umur 19 tahun, dia lantas menjadi seorang Guru di kampung Dakou. Sepuluh tahun setelah itu, setiap bulan dia hanya memperoleh gaji guru sebesar RB. 6.5 (Kira-kira Rp. 7.000,-).
Bencana itu datang pada tahun 1990. Musim Panas tahun itu, hujan badai membasahi ruangan kelas sekolahnya. Ketika liburan musim panas, orang-orang di kampung itu mengumpulkan uang memperbaiki sekolah, Du Chanyun begitu bersemangat bekerja, kehujanan pun tetap kerja memindahkan batu, seluruh badan basah kuyup. Akhirnya pada suatu hari, dia jatuh sakit, sakit berat karena kehujanan dan capek.
Setelah sembuh dia mendapatkan, bahwa dia sudah tidak dapat berdiri lagi, tubuhnya sisi kiri tidak dapat bergerak. Dia khawatir, mengajar akan menjadi sebuah mimpi yang jauh.
Istrinya Li Zhengjie melihat apa isi hatinya, lantas menentramkannya, "Kamu jangan kuatir, kamu tidak bisa jalan, sampai panggung pun saya akan menggendongmu." Istri seorang penduduk di kampung yang buta huruf, akhirnya memikul tanggung jawab menggendong suaminya yang menjadi guru, dari rumah sampai sekolah, setiap hari 6 mil.
Menggunakan tubuhnya menopang suami
Sejak 1 September 1990, setiap pagi istrinya Li Zhengjie bangun menanak nasi, membangunkan 4 anggota keluarganya, setelah makan menggendong suaminya berangkat.
Sepanjang jalan, meraba, merangkak jatuh bangun sampai tiba di sekolah, setelah istri menempatkan suaminya, kemudian menitip pesan ke beberapa murid yang agak besar, lantas tergesa-gesa pulang, di rumah masih ada 2 hektar sawah yang menunggunya untuk digarap.
Sejak memikul tanggung jawab mengendong suaminya, dua hal yang paling dia takuti adalah musim panas dan musim dingin.
Rumah Du Chanyun di sebelah tenggara sekolah, walaupun jarak dari rumahnya ke sekolah hanya 3 mil, namun tidak ada jalan lain, selain dari jalan tikus, dengan batu-batuan yang berserakan, ranting-ranting pohon, sungai kecil.
Pada suatu hari di musim panas, baru saja turun hujan lebat, Li Zhengjie seperti hari biasa menggendong suaminya berangkat. Air sungai yang melimpah menutup batu injakkan kakinya. Li Zhengjie sudah hati-hati meraba-raba batu pijakan, namun tidak disangka tergelincir. Arus sungai yang deras menghanyutkan mereka sampai 10 meter lebih, untung tertahan oleh ranting pohon yang melintang di hulu sungai. Setelah lebih kurang setengah jam, ayahnya yang merasa khawatir akhirnya datang. Mereka ditarik, anak dan menantunya kemudian berhasil diselamatkan, lolos dari ancaman maut.
Dalam beberapa tahun ini, Li Zhengjie terus menggendong suaminya, entah sudah berapa kali jatuh bangun. Pada mulainya, kadang-kadang suaminya jatuh di bawah, kadang-kadang Li Zhengjie jatuh di bawah. Akhirnya Li Zhengjie timbul akal, asal jatuh dia berusaha duluan jatuh di bawah, menggunakan tubuhnya yang kekar menahan batu yang mengganjal.
"Walaupun nanti kamu tidak bisa bangun lagi, saya juga akan menggendong kamu sampai tua," ujar istrinya.
Li Zhengjie siang malam kerja keras dan capek, suaminya melihat dengan jelas, hatinya merasa iba.
Pada tahun 1993, dia mulai merencanakan agar istrinya meninggalkan dia, agar tak lagi melihatnya menderita. Untuk mencapai tujuan ini, dia mengubah karakternya, sengaja cari gara-gara untuk bertengkar, dia yang mulai memakinya. Li Zhengjie yang tidak memahami merasa tertekan, setelah 2 kali ribut besar, mereka sungguh-sungguh mau bercerai.
Pada hari perceraian, Li Zhengjie menggendong suaminya naik sepeda, hati-hati mendorong suaminya ke lurah setempat. Pekerja di sana sangat mengenal sepasang suami istri yang akrab ini, begitu melihat tampang kedua orang tersebut makin gembira, "Saya tidak pernah lihat wanita menggendong suaminya ke lurah minta cerai, kalian pulang saja," teriak para petugas lurah.
Tidak sekalipun bolos mengajar
Kondisi di sekolah sangat parah, namun kedua pasang suami istri bisa memberikan pendidikan yang baik buat anak-anak, kondisi guru kurang baik, bu guru bawa anak-anak tamasya, olah raga. Tidak ada alat musik, Du Guangyun menggunakan daun membuat irama musik buat anak-anak, tidak ada poliklinik, Li Zhengjie naik ke gunung memcari obat ramuan, pada musim panas dia memasak obat pendingin buat anak-anak, pada musim dingin masak obat anti flu buat anak-anak.
Di bawah bantuan istri, dalam 17 tahun, hari demi hari, tidak terhalangi oleh angin hujan, tidak pernah bolos satu kali pun.
Data yang terkumpul dari kepala sekolah tentang hasil ujian negeri: bulan April, tingkat siswa yang lulus dari sekolah SD tersebut mencapai 100%. Tahun lalu ketika ujian masuk perguruan tinggi, ada 4 orang siswa yang dulu pernah diajari dia masuk ke perguruan tinggi, tahun ini ada 4 lagi yang lulus masuk ke spesialis.
Kini, setiap hari raya Imlek, murid-muridnya sengaja pulang ke kampung menjengut bapak dan ibu gurunya, masalah tersebut menjadi peristiwa yang sangat menggembirakan bagi sepasang suami istri guru ini.(Epochtimes.com/waa, sumber: http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/3994-seorang-istriselama-17-tahun)
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Tuesday, August 18, 2009
Burned Biscuits
Roti Hangus
Ketika saya masih kecil, ibu saya kadang-kadang suka mempersiapkan hidangan pagi untuk makan malam. Dan saya ingat bahwa pada suatu malam ibu saya mempersiapkan makan malam setelah seharian lelah bekerja. Pada malam itu beberapa tahun yang lalu, ibu saya menghidangkan telor, sosis dan roti hangus di hadapan ayah. Saya ingat bahwa saya menunggu apakah ada orang lain yang memperhatikan hal itu. Namun ayah saya meraih roti itu, tersenyum kepada ibu dan bertanya kepada saya bagaimana sekolah saya pada hari itu. Saya tidak ingat lagi apa yang saya katakan kepadanya, namun saya sangat ingat benar bahwa ayah mengoleskan mentega dan selai pada roti itu dan menelan semuanya.
Ketika saya bangkit dari meja makan pada malam itu, saya mendengar bahwa ibu saya memohon maaf kepada ayah atas roti yang hangus itu. Dan saya takkan pernah melupakan apa yang ayah katakan, “Sayang, saya menyukai roti hangus juga koq.”
Kemudian pada malam itu saya mencium ayah sambil mengucapkan selamat malam dan saya juga bertanya apa benar dia sungguh-sungguh menyukai roti hangus. Dia memeluk saya dan berkata, “Ibumu sudah bekerja keras seharian dan dia sungguh-sungguh kelelahan. Selain itu, roti hangus tidak terlalu membahayakan siapapun.”
Anda tahu, hidup ini penuh hal-hal yang tak sempurna… dan orang-orang tak sempurna. Saya bukanlah ibu rumah tangga atau jurumasak terbaik. Apa yang saya pelajari selama beberapa tahun adalah bahwa belajar menerima kesalahan orang lain dan menyambut perbedaan satu sama lain merupakan kunci yang penting untuk menciptakan hubungan yang bertumbuh, sehat dan tahan lama.
Dan inilah doaku bagi Anda pada hari ini. Semoga Anda akan belajar menerima bagian yang baik, buruk, atau sangat buruk dalam kehidupanmu dan menyerahkan semua itu di kaki Tuhan karena pada akhirnya, Dialah satu-satunya Pribadi yang mampu memberikan Anda hubungan dimana roti hangus bukanlah perusak suasana.
Kita dapat mengaitkan hal ini pada setiap hubungan apapun, karena saling pengertian merupakan dasar dari setiap hubungan, apakah itu hubungan suami istri maupun hubungan orang tua anak dan hubungan persahabatan!
“Jangan taruh kunci kebahagianmu di kantong orang lain, jangan menggantungkan diri kebahagiaanmu pada orang lain, taruhlah kunci itu di saku Anda sendiri.”
Penulis Tak Dikenal/God's Work Ministry Email/Email dikirim oleh Bpk. Wawan S.T/Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada tanggal 18 Agustus 2009.
******
BURNED BISCUITS
When I was a little child, my mom liked to make breakfast food for dinner every now and then. And I remember one night in particular when she had made breakfast after a long, hard day at work. On that evening so long ago, my mom placed a plate of eggs, sausage and extremely burned biscuits in front of my dad. I remember waiting to see if anyone noticed! Yet all my dad did was reach for his biscuit, smile at my mom and ask me how my day was at school. I don't remember what I told him that night, but I do remember watching him smear butter and jelly on that biscuit and eat every bite!
When I got up from the table that evening, I remember hearing my mom apologize to my dad for burning the biscuits. And I'll never forget what he said: “Baby, I love burned biscuits.”
Later that night, I went to kiss Daddy good night and I asked him if he really liked his biscuits burned. He wrapped me in his arms and said, “Your Momma put in a hard day at work today and she's real tired. And besides - a little burned biscuit never hurt anyone!”
You know, life is full of imperfect things...and imperfect people. I'm not the best housekeeper or cook. What I've learned over the years is that learning to accept each other's faults - and choosing to celebrate each other's differences - is one of the most important keys to creating a healthy, growing, and lasting relationship.
And that's my prayer for you today. That you will learn to take the good, the bad, and the ugly parts of your life and lay them at the feet of God...Because in the end, He's the only One who will be able to give you a relationship where a burnt biscuit isn't a deal-breaker!
We could extend this to any relationship in fact - as understanding is the base of any relationship, be it a husband-wife or parent-child or friendship!
“Don't put the key to your happiness in someone else's pocket - keep it in your own.”
Author Unknown
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Ketika saya masih kecil, ibu saya kadang-kadang suka mempersiapkan hidangan pagi untuk makan malam. Dan saya ingat bahwa pada suatu malam ibu saya mempersiapkan makan malam setelah seharian lelah bekerja. Pada malam itu beberapa tahun yang lalu, ibu saya menghidangkan telor, sosis dan roti hangus di hadapan ayah. Saya ingat bahwa saya menunggu apakah ada orang lain yang memperhatikan hal itu. Namun ayah saya meraih roti itu, tersenyum kepada ibu dan bertanya kepada saya bagaimana sekolah saya pada hari itu. Saya tidak ingat lagi apa yang saya katakan kepadanya, namun saya sangat ingat benar bahwa ayah mengoleskan mentega dan selai pada roti itu dan menelan semuanya.
Ketika saya bangkit dari meja makan pada malam itu, saya mendengar bahwa ibu saya memohon maaf kepada ayah atas roti yang hangus itu. Dan saya takkan pernah melupakan apa yang ayah katakan, “Sayang, saya menyukai roti hangus juga koq.”
Kemudian pada malam itu saya mencium ayah sambil mengucapkan selamat malam dan saya juga bertanya apa benar dia sungguh-sungguh menyukai roti hangus. Dia memeluk saya dan berkata, “Ibumu sudah bekerja keras seharian dan dia sungguh-sungguh kelelahan. Selain itu, roti hangus tidak terlalu membahayakan siapapun.”
Anda tahu, hidup ini penuh hal-hal yang tak sempurna… dan orang-orang tak sempurna. Saya bukanlah ibu rumah tangga atau jurumasak terbaik. Apa yang saya pelajari selama beberapa tahun adalah bahwa belajar menerima kesalahan orang lain dan menyambut perbedaan satu sama lain merupakan kunci yang penting untuk menciptakan hubungan yang bertumbuh, sehat dan tahan lama.
Dan inilah doaku bagi Anda pada hari ini. Semoga Anda akan belajar menerima bagian yang baik, buruk, atau sangat buruk dalam kehidupanmu dan menyerahkan semua itu di kaki Tuhan karena pada akhirnya, Dialah satu-satunya Pribadi yang mampu memberikan Anda hubungan dimana roti hangus bukanlah perusak suasana.
Kita dapat mengaitkan hal ini pada setiap hubungan apapun, karena saling pengertian merupakan dasar dari setiap hubungan, apakah itu hubungan suami istri maupun hubungan orang tua anak dan hubungan persahabatan!
“Jangan taruh kunci kebahagianmu di kantong orang lain, jangan menggantungkan diri kebahagiaanmu pada orang lain, taruhlah kunci itu di saku Anda sendiri.”
Penulis Tak Dikenal/God's Work Ministry Email/Email dikirim oleh Bpk. Wawan S.T/Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com pada tanggal 18 Agustus 2009.
******
BURNED BISCUITS
When I was a little child, my mom liked to make breakfast food for dinner every now and then. And I remember one night in particular when she had made breakfast after a long, hard day at work. On that evening so long ago, my mom placed a plate of eggs, sausage and extremely burned biscuits in front of my dad. I remember waiting to see if anyone noticed! Yet all my dad did was reach for his biscuit, smile at my mom and ask me how my day was at school. I don't remember what I told him that night, but I do remember watching him smear butter and jelly on that biscuit and eat every bite!
When I got up from the table that evening, I remember hearing my mom apologize to my dad for burning the biscuits. And I'll never forget what he said: “Baby, I love burned biscuits.”
Later that night, I went to kiss Daddy good night and I asked him if he really liked his biscuits burned. He wrapped me in his arms and said, “Your Momma put in a hard day at work today and she's real tired. And besides - a little burned biscuit never hurt anyone!”
You know, life is full of imperfect things...and imperfect people. I'm not the best housekeeper or cook. What I've learned over the years is that learning to accept each other's faults - and choosing to celebrate each other's differences - is one of the most important keys to creating a healthy, growing, and lasting relationship.
And that's my prayer for you today. That you will learn to take the good, the bad, and the ugly parts of your life and lay them at the feet of God...Because in the end, He's the only One who will be able to give you a relationship where a burnt biscuit isn't a deal-breaker!
We could extend this to any relationship in fact - as understanding is the base of any relationship, be it a husband-wife or parent-child or friendship!
“Don't put the key to your happiness in someone else's pocket - keep it in your own.”
Author Unknown
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Monday, August 3, 2009
Four Classes of Men
Jumat pagi saya menemukan sesuatu yang menarik tentang golongan manusia menurut pandangan orang Yahudi. Orang Yahudi membagi manusia ke dalam empat golongan:
1. Golongan Orang Adil, yang berkata: "What is mine is mine; what is thine is thine." Apa yang menjadi milikku adalah milikku; apa yang menjadi milikmu adalah milikmu."
2. Golongan Orang yang Suka Saling Menolong (Akomodatif), yang berkata: "What is mine is thine; what is thine is mine." Apa yang menjadi milikku adalah milikmu juga; apa yang menjadi milikmu adalah milikku juga.
3. Golongan Orang Saleh, yang berkata: "What is mine is thine; what is thine let it be thine." Apa yang menjadi milikku adalah milikmu; apa yang menjadi milikmu biarlah tetap menjadi milikmu. Itulah kasih seorang Ibu terhadap anaknya.
4. Golongan Orang Jahat, yang berkata: "What is mine is mine; what is thine shall be mine." Apa yang menjadi milikku adalah milikku; apa yang menjadi milikmu harus menjadi milikku. Itu adalah gaya preman. Katanya ada pengusaha yang mempunyai tabiat begitu. Lihat istri orang, dia rebut jadi simpanannya, mentang-mentang banyak duit dan punya kuasa.
Anda termasuk golongan yang mana?
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
1. Golongan Orang Adil, yang berkata: "What is mine is mine; what is thine is thine." Apa yang menjadi milikku adalah milikku; apa yang menjadi milikmu adalah milikmu."
2. Golongan Orang yang Suka Saling Menolong (Akomodatif), yang berkata: "What is mine is thine; what is thine is mine." Apa yang menjadi milikku adalah milikmu juga; apa yang menjadi milikmu adalah milikku juga.
3. Golongan Orang Saleh, yang berkata: "What is mine is thine; what is thine let it be thine." Apa yang menjadi milikku adalah milikmu; apa yang menjadi milikmu biarlah tetap menjadi milikmu. Itulah kasih seorang Ibu terhadap anaknya.
4. Golongan Orang Jahat, yang berkata: "What is mine is mine; what is thine shall be mine." Apa yang menjadi milikku adalah milikku; apa yang menjadi milikmu harus menjadi milikku. Itu adalah gaya preman. Katanya ada pengusaha yang mempunyai tabiat begitu. Lihat istri orang, dia rebut jadi simpanannya, mentang-mentang banyak duit dan punya kuasa.
Anda termasuk golongan yang mana?
Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Saturday, July 18, 2009
A Merciful Doctor
Dokter Lo Siaw Ging Tak Sudi Berdagang
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.
Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.
Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.
Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan "biasa saja". Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.
Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, "Memangnya kowe sudah punya uang banyak?"
Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. "Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima," ucapnya.
Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. "Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa," katanya.
Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.
Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? "Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan."
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.
Kerusuhan 1998
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif "populer". Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.
"Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa," ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. "Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa," ujarnya.
Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.
Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.
"Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat," cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.
Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.
"Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?" ucapnya.
Anugerah
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.
Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. "Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif," kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.
Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. "Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana," ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. "Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang," katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.
Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.
"Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?" ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah "cuti" praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, "Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan."
DATA DIRI
* Nama: Lo Siaw Ging * Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 * Istri: Maria
Gan May Kwee (62) * Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 * Profesi: -
Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen,
Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo
Sumber: KOMPAS Sonya Helen Sinombor/Email dari Ibu Suharti.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.
Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.
Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.
Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan "biasa saja". Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.
Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, "Memangnya kowe sudah punya uang banyak?"
Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. "Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima," ucapnya.
Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. "Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa," katanya.
Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.
Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? "Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan."
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.
Kerusuhan 1998
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif "populer". Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.
"Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa," ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. "Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa," ujarnya.
Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.
Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.
"Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat," cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.
Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.
"Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?" ucapnya.
Anugerah
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.
Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. "Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif," kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.
Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. "Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana," ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. "Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang," katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.
Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.
"Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?" ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah "cuti" praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, "Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan."
DATA DIRI
* Nama: Lo Siaw Ging * Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 * Istri: Maria
Gan May Kwee (62) * Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 * Profesi: -
Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen,
Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo
Sumber: KOMPAS Sonya Helen Sinombor/Email dari Ibu Suharti.
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Friday, July 17, 2009
The King Knows
But the King Knows
Rizpah daughter of Aiah took sackcloth and spread it out for herself on a rock. From the beginning of the harvest till the rain poured down from the heavens on the bodies, she did not let the birds of the air touch them by day or the wild animals by night. When David was told what Aiah's daughter Rizpah, Saul's concubine, had done, he went and took the bones of Saul and his son Jonathan from the citizens of Jabesh Gilead. (They had taken them secretly from the public square at Beth Shan, where the Philistines had hung them after they struck Saul down on Gilboa.) David brought the bones of Saul and his son Jonathan from there, and the bones of those who had been killed and exposed were gathered up.
They buried the bones of Saul and his son Jonathan in the tomb of Saul's father Kish, at Zela in Benjamin, and did everything the king commanded. After that, God answered prayer in behalf of the land. 2 Samuel 21:10-14
Buried in the Bible are these little stories that can easily get passed over for the "juicier" sections (e.g., Moses parting the Red Sea, David and Goliath, Jesus turning water into wine). Rizpah, a relative of Saul, wanted to protect the bodies of the seven men who were killed. She was protecting them from the birds. A simple act of kindness and decency. No one would notice. After all, the men she was protecting were already dead.
But King David heard about it and acted. Long story short: Saul, Jonathan, and the seven men were all buried together. Away from the birds, away from the open air.
Rizpah's legacy lives on around the world. Most people have never heard her name but they are like her. Most reading this are like her. You work and labor and wonder if it's making a difference. No one seems to notice your deeds. You get discouraged and want to give it all up for an easier life.
But the King knows. The King is recording all of those deeds. Sometimes he rewards you on the spot; most times, however, your small acts of kindness and hard work go seemingly unnoticed. Seemingly. The Enemy would want you to think that it's all for nothing. But it's not.
Take heart, Brothers and Sisters, your work for the Lord is not in vain, even the smallest things you do for others. Like the concert pianist whispering in the ear of a five-year-old as he plays a simple Chopsticks, "Keep on, Lad, you're doing great. Keep it up. I'm here with you. You're doing good. You're doing great. Don't stop now." Source: Devotions ChopChop,http://devotionschopchop.typepad.com/
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Rizpah daughter of Aiah took sackcloth and spread it out for herself on a rock. From the beginning of the harvest till the rain poured down from the heavens on the bodies, she did not let the birds of the air touch them by day or the wild animals by night. When David was told what Aiah's daughter Rizpah, Saul's concubine, had done, he went and took the bones of Saul and his son Jonathan from the citizens of Jabesh Gilead. (They had taken them secretly from the public square at Beth Shan, where the Philistines had hung them after they struck Saul down on Gilboa.) David brought the bones of Saul and his son Jonathan from there, and the bones of those who had been killed and exposed were gathered up.
They buried the bones of Saul and his son Jonathan in the tomb of Saul's father Kish, at Zela in Benjamin, and did everything the king commanded. After that, God answered prayer in behalf of the land. 2 Samuel 21:10-14
Buried in the Bible are these little stories that can easily get passed over for the "juicier" sections (e.g., Moses parting the Red Sea, David and Goliath, Jesus turning water into wine). Rizpah, a relative of Saul, wanted to protect the bodies of the seven men who were killed. She was protecting them from the birds. A simple act of kindness and decency. No one would notice. After all, the men she was protecting were already dead.
But King David heard about it and acted. Long story short: Saul, Jonathan, and the seven men were all buried together. Away from the birds, away from the open air.
Rizpah's legacy lives on around the world. Most people have never heard her name but they are like her. Most reading this are like her. You work and labor and wonder if it's making a difference. No one seems to notice your deeds. You get discouraged and want to give it all up for an easier life.
But the King knows. The King is recording all of those deeds. Sometimes he rewards you on the spot; most times, however, your small acts of kindness and hard work go seemingly unnoticed. Seemingly. The Enemy would want you to think that it's all for nothing. But it's not.
Take heart, Brothers and Sisters, your work for the Lord is not in vain, even the smallest things you do for others. Like the concert pianist whispering in the ear of a five-year-old as he plays a simple Chopsticks, "Keep on, Lad, you're doing great. Keep it up. I'm here with you. You're doing good. You're doing great. Don't stop now." Source: Devotions ChopChop,http://devotionschopchop.typepad.com/
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"
Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."
Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan
- A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
- B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
- C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
- D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
- E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
- F. Bpk. Irsan
- G. Ir. Ciputra - Jakarta
- H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
- I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
- J. Beni Prananto - Pengusaha
- K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
- L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
- M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
- N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
- O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
- P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
- Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
- R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
- S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
- T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
- U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
- V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
- W. Fanny Irwanto - Jakarta
- X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
- Y. Ir. Junna - Jakarta
- Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
- ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
- ZB. Christine - Intercon - Jakarta
- ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
- ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
- ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
- ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
- ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
- ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
- ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
- ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
- ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
- ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
- ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
- ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
- ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
- ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
- ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
- ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
- ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
- ZU. Justanti - USAID - Makassar
- ZV. Welian - Tangerang
- ZW. Dwiyono - Karawaci
- ZX. Essa Pujowati - Jakarta
- ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
- ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
- ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
- ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
- ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
- ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
- ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
- ZZF. Julia Bing - Semarang
- ZZG. Rika - Tanjung Karang
- ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
- ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
- ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
- ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI