Search This Blog

Tuesday, January 6, 2009

A Cry of the Cat Syndrome

A Letter from a Sister to her Brother

Patrick yang kukasihi,
Pada waktu itu aku hanyalah seorang kanak-kanak yang memiliki segala hal yang selalu aku inginkan. Namun biarpun anak itu anak orang kaya yang cantik dan manja, dapat saja ia kesepian pada waktu tertentu, sehingga ketika Ibu memberitahuku bahwa ia sedang hamil, aku begitu senang. Aku membayangkan bagaimana hebatnya kamu dan bagaimana kita akan selalu bersama dan bagaimana kamu akan nampak serupa denganku. Oleh karena itu, ketika kamu dilahirkan, aku melihat tangan dan kakimu yang kecil dan mengagumi betapa indahnya kamu.

Kami membawa kamu pulang dan aku memperlihatkan kamu terhadap teman-temanku dengan bangga. Ketika kamu berumur lima tahun, ada sesuatu yang mengganggu Ibu. Kamu begitu diam dan tak bergerak, dan tangismu begitu aneh terdengar – hampir seperti tangisan anak kucing. Oleh karena itu kami membawamu ke banyak dokter.

Dokter yang ketiga belas yang memandang kepadamu diam-diam, sambil mengatakan bahwa kamu menderita sindrom tangisan kucing (A cry of the cat syndrome).

Ketika aku menanyakan apakah arti penyakit itu, sang dokter memandangku dengan penuh belas kasihan dan dengan pelan ia berkata, “Adikmu tidak akan pernah dapat berjalan atau berbicara.” Dokter itu mengatakan kepada kami bahwa itu adalah penyakit yang menyerang satu di antara 50.000 bayi, yang membuat korbannya sangat terkebelakang. Ibu menjadi sangat terpukul dan aku marah sekali. Kupikir hal itu tidaklah adil.

Ketika kita kembali ke rumah, Ibu menggendongmu dan menangis. Aku memandang kepadamu dan menyadari bahwa akan tersiar kabar bahwa kamu bukan anak normal. Oleh karena itu demi mempertahankan popularitasku, aku melakukan sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya… aku menolak kamu sebagai adikku. Ayah dan Ibu tidak tahu, namun aku mengeraskan diriku untuk tidak mengasihimu begitu kamu semakin besar. Ayah dan Ibu mencurahkan kasih dan perhatian mereka kepadamu, dan hal itu membuatku sakit hati. Dan bersama berlalunya tahun demi tahun, kepahitan itu berubah menjadi amarah, dan kemudian menjadi kebencian.

Ibu tidak pernah menyerah terhadapmu. Ia tahu ia harus melakukan hal itu demi kepentinganmu.

Setiap kali Ibu menaruh mainan-mainanmu di lantai, kamu akan berguling, bukannya merangkak mengambilnya. Aku memperhatikan bahwa hati Ibu kecewa setiap kali menjauhkan mainanmu dan memoles perutmu dengan sabun cair supaya kamu tidak dapat berguling. Kamu bergumul dan kamu menangis dengan suara yang memilukan, seperti tangisan anak kucing. Namun ia masih tidak menyerah.

Dan kemudian pada suatu hari, kamu melawan apa yang dikatakan para dokter – kamu merangkak.

Ketika Ibu melihat hal ini, ia tahu bahwa kamu lambat laun akan berjalan. Makanya ketika kamu masih merangkak di usia empat tahun, Ibu menaruh kamu di rerumputan dengan hanya memakai popok. Ibu tahu bahwa kamu pasti tidak suka merasakan rerumputan di badanmu.

Kemudian Ibu meninggalkan kamu di sana. Kadang-kadang aku memperhatikan dari jendela rumah dan tersenyum melihat kamu merasa gelisah di rerumputan itu. Kamu akan merangkak ke arah jalan dan Ibu akan mengembalikan kamu lagi ke rerumputan. Berulang-ulang, Ibu mengulangi lagi hal ini di halaman berumput itu, sampai suatu hari Ibu melihat kamu mengangkat dirimu dan berjalan sempoyongan di atas rumput itu secepat kaki-kaki kecilmu bisa membawamu.

Antara tertawa dan menangis, Ibu berteriak memanggil Ayah dan aku agar datang. Ayah memeluk kamu sambil menangis.

Aku melihat pemandangan mengharukan ini dari jendela kamar tidurku.

Selama bertahun-tahun Ibu mengajarmu untuk berbicara, membaca, dan menulis. Sejak saat itu aku kadang-kadang melihat kamu berjalan-jalan di luar, menciumi harumnya bunga, terkagum-kagum terhadap burung-burung, atau tersenyum sendirian. Aku mulai melihat keindahan dunia ini melalui penglihatanmu. Baru pada saat itu aku menyadari bahwa kamu adalah adikku dan betapapun besarnya aku berusaha untuk membencimu, aku tak mampu, karena kasihku telah bertumbuh terhadapmu.

Selama beberapa hari kemudian, kita kembali berbaikan. Aku akan membelikan kamu mainan-mainan dan memberikan segala kasih yang dapat diberikan oleh seorang kakak perempuan kepada adik laki-lakinya. Dan kamu akan membalas kasihku dengan senyuman dan pelukan kepadaku.

Namun aku kira, kamu tidak pernah sungguh-sungguh diberikan bagi kami. Pada ulang tahunmu yang kesepuluh, kamu merasa sakit kepala yang hebat. Menurut diagnosa dokter – leukemia. Ibu terkejut sekali dan ayah menopangnya, sementara aku berusaha keras agar tidak menangis. Pada saat itu aku makin mengasihimu. Aku bahkan tidak tega meninggalkanmu. Kemudian para dokter memberi tahu kami bahwa satu-satunya harapan bagimu untuk sembuh adalah dengan cangkok sumsum tulang. Kamu membuat seluruh negara ini mencari donor yang tepat bagimu. Ketika akhirnya mereka menemukan donor yang cocok, kamu terlalu sakit, dan dokter tidak berani mengambil risiko mengoperasi kamu. Sejak itu kamu mendapatkan kemoterapi dan radiasi.

Bahkan pada akhirnya, kamu terus berjuang untuk tetap hidup. Tepat sebulan sebelum kamu meninggal, kamu membuatku menuliskan sebuah daftar hal-hal yang ingin kamu lakukan ketika kamu keluar dari Rumah Sakit. Dua hari setelah daftar itu selesai dibuat, kamu meminta dokter agar kamu diizinkan pulang ke rumah. Di sana kita makan es krim dan kue, berlarian di rerumputan, menerbangkan layang-layang, pergi memancing, berfoto satu sama lain, dan menerbangkan balon-balon. Aku ingat percakapan terakhir kita. Kamu katakan bahwa kalau kamu meninggal, dan jika aku perlu pertolongan, aku dapat mengirimkan catatan ke Sorga dengan mengikat catatan itu pada balon dan menerbangkan balon itu. Ketika kamu mengatakan hal ini, aku mulai menangis. Kemudian kamu memelukku. Kemudian, kamu kembali jatuh sakit, untuk terakhir kalinya.

Pada malam hari itu kamu meminta air minum, garukan di punggungmu, dan pelukan. Akhirnya kamu kejang dengan airmata mengalir di wajahmu. Kemudian di Rumah Sakit, kamu berjuang untuk berkata-kata namun tak ada kata yang keluar. Aku tahu apa yang ingin kamu katakan. “Aku mendengar,” kataku berbisik kepadamu. Dan untuk terakhir kalinya, aku katakan, “Aku akan selalu mengasihimu dan aku tidak akan pernah melupakanmu. Janganlah takut. Kamu akan segera bersama Tuhan di Sorga.” Kemudian, dengan airmata mengalir deras, aku memandang adik lelaki yang paling berani akhirnya berhenti bernafas. Ayah, Ibu, dan aku menangis sampai aku merasa tidak ada airmata lagi yang tersisa. Patrick, kamu akhirnya pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kami semua.

Sejak saat itu, kamu menjadi sumber inspirasiku. Kamu memperlihatkan kepadaku bagaimana mencintai kehidupan ini dan hidup dalam kepenuhannya. Dengan kesederhanaan dan kejujuranmu, kamu memperlihatkan kepadaku suatu dunia yang penuh dengan kasih dan kepedulian. Dan kamu membuatku menyadari bahwa hal yang paling penting dalam kehidupan ini adalah terus mengasihi tanpa bertanya mengapa atau bagaimana dan tanpa menetapkan suatu batasnya. Terima kasih, adik kecilku, untuk semua itu.


(Sumber: http://jmm.aaa.net.au/articles/3454.htm, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian http://pentas-kesaksian.blogspot.com - mohon agar keterangan ini jangan dihapus ketika anda memforward naskah terjemahan ini atau mempostingnya dalam website/blog anda - terima kasih)

****

NOTE:
Terima kasih banyak atas pesanan buku "Mukjizat Kehidupan" oleh Ibu Anastasia dari Kupang. Buku telah dikirim via pos. God bless you!

****


Dear Patrick,
I was then an only child who had everything I could ever want. But even a pretty, spoiled and rich kid could get lonely once in a while so when Mom told me that she was pregnant, I was ecstatic. I imagined how wonderful you would be and how we'd always be together and how much you would look like me. So, when you were born, I looked at your tiny hands and feet and marveled at how beautiful you were.

We took you home and I showed you proudly to my friends. They would touch you and sometimes pinch you, but you never reacted. When you were five months old, some things began to bother Mom. You seemed so unmoving and numb, and your cry sounded odd --- almost like a kitten's. So we brought you to many doctors.

The thirteenth doctor who looked at you quietly said you have the "cry du chat" (pronounced Kree-do-sha) syndrome, "cry of the cat" in French.

When I asked what that meant, he looked at me with pity and softly said, "Your brother will never walk nor talk." The doctor told us that it is a condition that afflicts one in 50,000 babies, rendering victims severely retarded. Mom was shocked and I was furious. I thought it was unfair.

When we went home, Mom took you in her arms and cried. I looked at you and realized that word will get around that you're not normal. So to hold on to my popularity, I did the unthinkable ... I disowned you. Mom and Dad didn't know but I steeled myself not to love you as you grew. Mom and Dad showered you love and attention and that made me bitter. And as the years passed, that bitterness turned to anger, and then hate.

Mom never gave up on you. She knew she had to do it for your sake.

Everytime she put your toys down, you'd roll instead of crawl. I watched her heart break every time she took away your toys and strapped your tummy with foam so you couldn't roll. You struggle and you're cry in that pitiful way, the cry of the kitten. But she still didn't give up.

And then one day, you defied what all your doctors said -- you crawled.

When mom saw this, she knew you would eventually walk. So when you were still crawling at age four, she'd put you on the grass with only your diapers on knowing that you hate the feel of the grass on your skin.

Then she'd leave you there. I would sometimes watch from the windows and smile at your discomfort. You would crawl to the sidewalk and Mom would put you back. Again and again, Mom repeated this on the lawn. Until one day, Mom saw you pull yourself up and toddle off the grass as fast as your little legs could carry you.

Laughing and crying, she shouted for Dad and I to come. Dad hugged you crying openly.

I watched from my bedroom window this heartbreaking scene.

Over the years, Mom taught you to speak, read and write. From then on, I would sometime see you walk outside, smell the flowers, marvel at the birds, or just smile at no one. I began to see the beauty of the world through your eyes. It was then that I realized that you were my brother and no matter how much I tried to hate you, I couldn't, because I had grown to love you.

During the next few days, we again became acquainted with each other. I would buy you toys and give you all the love that a sister could ever give to her brother. And you would reward me by smiling and hugging me.

But I guess, you were never really meant for us. On your tenth birthday, you felt severe headaches. The doctor's diagnosis --leukemia. Mom gasped and Dad held her, while I fought hard to keep my tears from falling. At that moment, I loved you all the more. I couldn't even bear to leave your side. Then the doctors told us that your only hope is to have a bonemarrow transplant. You became the subject of a nationwide donor search. When at last we found the right match, you were too sick, and the doctor reluctantly ruled out the operations. Since then, you underwent chemotherapy and radiation.

Even at the end, you continued to pursue life. Just a month before you died, you made me draw up a list of things you wanted to do when you got out of the hospital. Two days after the list was completed, you asked the doctors to send you home. There, we ate ice cream and cake, run across the grass, flew kites, went fishing, took pictures of one another and let the balloons fly. I remember the last conversation that we had. You said that if you die, and if I need of help, I could send you a note to heaven by tying it on the string of any balloon and letting it fly. When you said this, I started crying. Then you hugged me. Then again, for the last time, you got sick.

That last night, you asked for water, a back rub, a cuddle. Finally, you went into seizure with tears streaming down your face. Later, at the hospital, you struggled to talk but the words wouldn't come. I know what you wanted to say. "Hear you," I whispered. And for the last time, I said, "I'll always love and I will never forget you. Don't be afraid. You'll soon be with God in heaven." Then, with my tears flowing freely, I watched the bravest boy I had ever known finally stop breathing. Dad, Mom and I cried until I felt as if there were no more tears left. Patrick was finally gone, leaving us behind.

From then on, you were my source of inspiration. You showed me how to love life and live to the fullest. With your simplicity and honesty, you showed me a world full of love and caring. And you made me realize that the most important thing in this life is to continue loving without asking why or how and without setting any limit.

Thank you, my little brother, for all these.


Source: http://jmm.aaa.net.au/articles/3454.htm

Ditulis/diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com

Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"

Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."

Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan

  • A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
  • B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
  • C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
  • D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
  • E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
  • F. Bpk. Irsan
  • G. Ir. Ciputra - Jakarta
  • H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
  • I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
  • J. Beni Prananto - Pengusaha
  • K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
  • L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
  • M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
  • N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
  • O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
  • P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
  • Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
  • R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
  • S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
  • T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
  • U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
  • V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
  • W. Fanny Irwanto - Jakarta
  • X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
  • Y. Ir. Junna - Jakarta
  • Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
  • ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
  • ZB. Christine - Intercon - Jakarta
  • ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
  • ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
  • ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
  • ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
  • ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
  • ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
  • ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
  • ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
  • ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
  • ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
  • ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
  • ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
  • ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
  • ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
  • ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
  • ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
  • ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
  • ZU. Justanti - USAID - Makassar
  • ZV. Welian - Tangerang
  • ZW. Dwiyono - Karawaci
  • ZX. Essa Pujowati - Jakarta
  • ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
  • ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
  • ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
  • ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
  • ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
  • ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
  • ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
  • ZZF. Julia Bing - Semarang
  • ZZG. Rika - Tanjung Karang
  • ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
  • ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
  • ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
  • ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI