Kata Penghormatan di Pemakaman Ayahku
Hari ini adalah ulang tahun kelima atas wafatnya ayahku. Pada waktu itu ayah sedang duduk di taman di rumahnya, dengan seekor anak kucing agak baru di dekatnya dan sekantung makanan anjing. Ia tinggal di dekat salah satu Finger Lakes di barat New York. Pada saat itu, saudara-saudariku tinggal berjarak 30 menit dari rumah ayah.
Pada hari itu aku sedang berada di Kota New York, menghadiri pertemuan group fokus bagi pekerjaanku – ketika aku menerima panggilan handphone panik dari kakakku. Kakak sedang menuju ke rumah ayah untuk mengajaknya makan malam. Kak Matt menemukan ayah jatuh pingsan keluar dari kursinya. Kak Matt mulai memberikan pernafasan buatan bagi ayah, sementara istrinya menelpon 911 – panggilan emergensi.
Setelah menerima telpon dari kakak, aku segera meninggalkan acara group fokus untuk mengejar pesawat paling awal. Ketika aku memasuki airport dan siap-siap menaiki pesawat, Matt menelponku lagi untuk mengabarkan bahwa ayah telah meninggal.
Saat itu sungguh terasa seperti mimpi, setelah hubungan telpon selesai, dan mendengar suara dan kesibukan orang-orang yang melanjutkan kehidupan mereka, sementara kehidupanku terasa berhenti mendadak pada ketika itu. Ketika aku tiba di Rochester, keempat saudara-saudariku dan aku mulai menyiapkan proses pemakaman dan acara kedukaan – hal-hal seperti pengurusan jenazah, acara pemakaman, dan penulisan kabar kematian dan biografi ayah.
Ada daftar kegiatan yang perlu diperiksa satu persatu. Salah satu tugas yang harus dikerjakan adalah menulis kata sambutan bagi pemakaman ayah. Telah disetujui bahwa aku akan membacakan kata sambutan tersebut untuk mengenang jasa dan menghormati ayahku.
Di bawah ini aku tuliskan eulogi atau kata-kata penghormatan yang aku bagikan di acara pemakaman ayah – aku bagikan ini dengan harapan dapat menolong seseorang yang mungkin melewati pengalaman yang sama.
=======================================================================
Rasanya seperti bermimpi dan tidak nyata ketika kami harus kehilangan kedua orang tua dalam rentang waktu yang cukup pendek – dua tahun lebih sedikit.
Aku pergi ke gereja dan duduk bersebelahan dengan ayah pada hari Minggu lalu dan tidak pernah menduga akan ditelpon pada hari berikutnya yang mengabarkan bahwa ayah telah wafat.
Aku tidak menduga kalau kedua orangtua kami tidak akan hidup terus untuk melihat pernikahan 12 cucu mereka. Aku tidak menduga kalau mereka tidak akan melihat kelahiran cicit-cicit mereka. Dan tentu saja aku tidak menduga kalau mereka tidak akan mencapai usia 65 tahun.
Sampai hari Senin lalu ketika ayah meninggal, aku masih menduga dapat hidup bersama ayah selama 15 atau 25 tahun yang menyenangkan lagi.
Namun paling tidak aku punya dugaan yang membuat damai di pikiran dan hati terdalam bahwa aku tahu bahwa ayah dan ibu sudah dipersatukan bersama.
Sejak ibu meninggal pada tahun 2004, ayah mulai tidak bahagia. Saudara-saudariku dan aku sendiri telah berusaha memberikan lebih banyak waktu bersama ayah. Saudara-saudari kami juga sering mengajak ayah untuk makan, minum kopi, memperbaiki rumah ayah, mengajak ayah jalan-jalan atau bepergian mengelilingi danau untuk membangkitkan semangatnya – namun tidak terlalu berhasil.
Pada suatu titik, aku begitu frustrasi atas kemurungan ayah sehingga aku secara egoistis dan marah menegur ayah agar keluar dari kemurungannya dan bangkit melanjutkan kehidupannya. Aku juga bertanya kepada ayah, apakah keluarga besar yang masih hidup tidak cukup baginya?
Dengan pelan ayah menjawab bahwa ia sangat mengisihi setiap orang di antara kami semua. Namun ayah juga menceritakan bahwa semua perhatian dan upaya yang ekstra dari kami semua terhadap ayah, menjadi sesuatu yang pahit-pahit manis karena Gwen (ibuku) tidak ada lagi di sana untuk berbagi bersama ayah.
Dengan pelan ayah menceritakan lebih lanjut bahwa tidak peduli betapa dalam kami mengasihi ayah dan menghabiskan waktu bersama ayah – setiap kami akhirnya harus meninggalkan ayah setiap hari untuk kembali pada keluarga dan rumah kami masing-masing. Nampaknya dengan ditinggalkannya ayah setiap hari, hal itu tanpa sadar menambah kepedihan hati ditinggal ibu.
Itulah pendalaman yang tak terduga dan mendukakan bagiku. Tanpa memperkecil hal itu, kehilangan ibu bagi ayah dapat diibaratkan dengan seorang pelukis yang kehilangan penglihatannya, seperti seorang musisi yang kehilangan pendengarannya atau seperti seorang koki yang kehilangan daya kecapnya.
Setiap hal yang suka dikerjakan dan dialami setiap orang dalam kehidupan ini dipengaruhi dan berubah, karena titik kontak yang menolong memberi arti pada setiap waktu sudah tidak ada bersama mereka lagi. Ibuku adalah titik kontak bagi ayah.
Ayahku mengasihi kami kelima orang anaknya dan sangat mengasihi cucu-cucunya – tetapi sekarang aku tahu bahwa ia sedih karena tidak lagi dapat membagikan saat-saat indah itu bersama ibuku.
Percayalah pada apa yang kukatakan, aku kehilangan kedua orang tuaku – tetapi seperti aku katakan, aku tak menduga bahwa sekarang aku punya damai sejahtera walaupun kehilangan mereka, yaitu mereka kini dapat bersatu di alam kekekalan.
Beberapa anak mendapatkan dari ayah mereka kesukaan akan main baseball dan mereka dapat mengingat angka-angka statistik kemenangan setiap pemain setiap hari. Beberapa anak mengembangkan kesukaan untuk berburu dan memancing yang akan bertahan seumur hidup. Beberapa yang lain punya hobby terhadap mobil dan bekerja bersama ayah mereka untuk memperbaiki mesin mobil klasik.
Walaupun ayahku tidak punya kesukaan akan baseball, berburu atau terhadap mobil – namun ia memiliki gairah menyala-nyala yang ia teruskan padaku, yaitu kegairahan akan Firman Tuhan dan akan iman yang kekal dalam Kristus.
Setiap hari aku bersyukur atas karunia iman yang ayah turunkan bagiku, khususnya untuk hari seperti hari ini.
Pada awal minggu ini, istriku menemukan email dari seorang wanita yang datang beribadah di gereja kami, dan pada akhir email tersebut ada kata-kata kutipan yang aku ingin bagikan, bunyinya:
”Ukuran paling tepat untuk menilai kekayaan seseorang adalah apa yang ia investasikan di dalam kekekalan.”
Kutipan tadi terngiang-ngiang di pikiranku, karena itulah standard yang dapat diukurkan kepada ayahku. Setiap orang yang sungguh-sungguh mengenal ayahku akan setuju atas standard kekekalan itu – ia adalah salah seorang terkaya yang aku kenal, dan itu dibuktikan dengan jumlah orang pada hari ini yang datang menghormati kenangan indah bersama ayah.
Ayahku selalu siap mendengarkan, selalu mendoakan dan menyampaikan kata-kata hikmat dari Alkitab kepada siapa saja yang mencari pertolongannya.
Selama masa penghiburan tadi malam, aku tak dapat memberi tahu berapa banyak orang – beberapa diantaranya adalah teman-teman keluarga kami, banyak lainnya yang belum kami kenal – yang datang melayat dan memberitahuku bahwa ayah adalah ”figur bapak” bagi mereka ketika mereka tidak mempunyai ayah lagi; atau ayah memainkan peranan penting dan memberikan dampak bagi kehidupan mereka; atau betapa iman ayah dan keluarga kami telah menjadi inspirasi bagi mereka.
”Ukuran paling tepat untuk menilai kekayaan seseorang adalah apa yang ia investasikan di dalam kekekalan.”
Setelah mengatakan semuanya itu – setelah kehilangan kedua orang tuaku begitu berdekatan waktunya padahal mereka seharusnya bisa hidup berpuluh-puluh tahun lagi – sangatlah mudah bagiku untuk memprotes ke sorga dan menganggap kepergian kedua orang tua kami sebagai sesuatu yang tidak adil atau bahkan suatu lelucon alam semesta yang kejam.
Reaksi yang spontan adalah menuntut jawaban kepada Tuhan atas pertanyaan - ”Mengapa?”:
• Mengapa kedua orangtuaku pergi?
• Mengapa aku harus meneruskan kehidupan tanpa mereka?
• Mengapa pasangan saling mengasihi yang sudah mendemonstrasikan iman harus meninggal pada usia begitu muda?
• Mengapa orang tua kami yang meninggal?
Semua pertanyaan ”mengapa” dan banyak pertanyaan lain datang memenuhi pikiranku ketika aku mendengar kabar kematian ayahku – karena aku mengasihi ayah sebesar aku mengasihi ibu.
Yang menariknya, pertanyaan-pertanyaan ”mengapa” itu terjadi, mengingatkan aku pada sebuah bacaan yang aku temukan pada buku berjudul ”Penelaahan atas Kedukaan”.
Setelah ibu meninggal, aku memberikan buku itu kepada ayah. Buku itu ditulis oleh C.S Lewis – orang yang semula sangat atheis yang kemudian menjadi salah seorang penulis Kristen dan ahli teologi terbesar di abad ke-20.
Lewis menulis buku itu segera setelah kematian istrinya, Joy Davidson, karena kanker. Sejujurnya, aku tidak mengetahui pasti apakah ayah membaca buku yang kuberikan itu – namun aku ingin membacakan sedikit dari buku itu bagi anda tentang pertanyaan-pertanyaan ”mengapa” yang kami alami ketika kami kehilangan orang-orang yang kami kasihi:
Ketika aku menyodorkan pertanyaan-pertanyaan [mengapa] di hadapan Tuhan, aku tidak mendapatkan jawabannya. Malahan sepertinya aku mendapatkan jawaban ”Tidak”. Aku tidak berhadapan dengan pintu yang tertutup. Tetapi agaknya aku mendapati tatapan yang diam seribu basa, bukannya tanpa belas kasih. Sepertinya Tuhan menggelengkan kepalanya – bukan menolak menjawab namun mengabaikan pertanyaan itu. Jawabannya seperti: ”Tenanglah, anak-Ku, engkau tidak mengerti.”
Bolehkah makhluk fana mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap Tuhan tidak perlu dijawab? Ya, boleh saja karena semua pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal merupakan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Pertanyaan-pertanyaan seperti: ”apakah kuning itu kotak atau bundar? Atau, ”ada berapa jam dalam satu mil?” tidak bisa dijawab. Mungkin saja setengah dari pertanyaan-pertanyaan kita – setengah dari masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi dan metafisika – merupakan pertanyaan-pertanyaan tanpa makna. ”
Apa yang dijelaskan bagian buku di atas adalah bahwa semua pertanyaan-pertanyaan ”mengapa” tentang suatu tragedi merupakan jenis pertanyaan yang keliru.
Setelah acara ibadah penghiburan tadi malam – mengingat ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang dijamah hidupnya oleh dampak positif kehadiran ayah – aku jadi berpikir tentang pertanyaan yang tepat atau benar yang harus aku tanyakan. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk akal bagi Tuhan dan sehingga Ia ingin menjawab pertanyaan itu bagiku mengenai kematian orang tua kami.
Setelah antrian panjang orang-orang yang datang tadi malam pada acara ibadah penghiburan dengan membawa kisah demi kisah tentang bagaimana ayah memberi dampak positif bagi kehidupan orang-orang itu – maka muncullah pertanyaan di hatiku, ”Bagaimana aku bisa lebih menjadi seperti ayahku?”
Dan jawaban dari Tuhan datang ke dalam hatiku secepat pertanyaannya, yaitu: ”Ukuran paling tepat untuk menilai kekayaan seseorang adalah apa yang ia investasikan dalam kekekalan.”
Terlepas dari kepedihan, kehilangan, kedukaan – aku mendapatkan jawaban dari sorga yang memberikanku damai sejahtera sejati di dalam hati terdalam. Aku memiliki jawaban dan tuntunan, bahwa aku perlu melanjutkan kehidupan ini dan imanku sampai aku mencapai garis akhir dan menyelesaikan kehidupanku dengan baik – tepat seperti yang telah dilakukan ayahku.
Aku akan terus mengejar warisan kekal yang sejati yang diberikan ayah dan berusaha memberi pengaruh positif terhadap kehidupan yang aku jumpai – tepat seperti yang dilakukan ayah dan terus dilakukan ayah hingga akhir hayatnya.
Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan ”mengapa” dan ada pertanyaan yang lebih baik untuk ditanyakan ketika kita berhadapan dengan tragedi, aku bertanya apakah anda kaya dalam kebenaran, berlimpah dalam iman dan memiliki investasi yang banyak dalam kekekalan? Di seberang tirai kematian, apakah anda tahu bahwa anda telah menyelesaikan kehidupan dengan baik?
Jika anda mengarahkan kehidupan anda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, anda akan mendapati kehidupan yang layak dan penuh arti.
Ditulis oleh Tor Constantino, ex journalist of CBS and ABC, best selling author, bloger, speaker. Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk Pentas Kesaksian, http://pentas-kesaksian.blogspot.com. Lihat artikel menarik lainnya di Pentas Kesaksian.
Sumber: http://thedailyretort.com/today-marks-5-years-since-my-dad-died/
********
The Eulogy I Gave For My Dad…
Today is the fifth anniversary of my dad’s death. He was sitting in his garden, with his newish puppy nearby and a pocketful of dog snacks near one of the Finger Lakes in western New York where he lived. At the time, my siblings and I all lived within 30 minutes of him.
That day, I was in New York City attending some focus group sessions for work – when I received a frantic cell phone call from my brother. He was driving to dad’s house to take him out to dinner. Matt found my dad keeled over out of his chair. He started administering CPR to dad while his wife dialed 911.
After the call, I immediately left the focus groups to catch an earlier flight. When I got to the airport and was getting ready to board the plane, Matt called again to say that dad had died.
It was incredibly surreal to hang up the phone and listen to the ongoing hustle and bustle of everyone else’s lives continuing, while mine had come to a screeching halt at that moment. When I arrived back in Rochester, my four siblings and I began the process of mourning and planning – things like internment, funeral arrangements and obituary writing.
They were necessary boxes that needed to be checked. One of the tasks that had to be done was his eulogy. It was agreed that I would deliver the eulogy to honor and memorialize my dad.
Below are the words that I shared at his funeral – I share them here to possibly help someone who may be going through a similar experience.
====================================================================
It feels surreal and unnatural to lose both parents within such a brief span of time – little more than two years.
I went to church and sat next to my father this past Sunday and did not expect a phone call the next day saying he was gone.
I did not expect that my parents would not live to see any of their 12 grandchildren get married. I did not expect that they would not live to see their great-grand babies. And I certainly did not expect that they would not live to see the age of 65.
Up until this past Monday when he passed, I did not expect anything less than another 15 or 25 good years to share with him.
But the thing I expected least of all was the deep peace of mind and spirit that I have knowing that he’s reunited with my mother.
Ever since she passed away in 2004, he had not been happy. My sisters, brother and I tried to spend a lot more time with him. Our respective families took him out to meals, coffees, worked around his house, took him on walks and drives around the lake to improve his spirits – to little avail.
At one point, I was so frustrated with his listlessness that I selfishly and angrily confronted him to “snap out of it” and get on with his life. Questioning him whether or not his surviving family members and extended family were enough?
He quietly replied that he deeply loved each and every one of us. But he shared that all the extra attention and effort we applied to him, was bitter sweet because Gwen (my mother) wasn’t there to share it with him.
He quietly shared further that no matter how much we loved on him and spent time with him – each of us ultimately had to leave him to return to our own families and homes each day. It seems that our daily departures from him unintentionally sharpened the painful void of my mother’s memory.
That was an unexpected insight into grief for me. Without minimizing it, such a loss is somewhat akin to a painter losing their sight; a musician losing their hearing or a chef their sense of taste.
Everything they love to do and experience in life is affected and changed, because their point of contact that helped define each moment was no longer there. My mother was that point of contact for my father.
My dad loved us five kids and deeply loved his grandkids – but I now know that he was sad that he could no longer share those moments with my mom.
Trust me as I tell you, I miss them both – but as I said, I did not expect the peace I now have in their absence knowing they’re together.
Some kids get from their dads a love for baseball and can quote player statistics all day long. Some develop a love for hunting and fishing that lasts a lifetime. Still others develop a passion for cars and working along side their father restoring a classic engine.
While my dad never had a passion for baseball, hunting or cars – there is a passion that he had that transferred to me and that was a passion for the word of God and an eternal faith in Christ.
Everyday I’m grateful for that gift of faith my father imparted to me, especially on a day like today.
Earlier this week, my wife came across an email from a woman who attends our church and at the end of the email there was a quote that I’d like to share, it reads:
“The true measure of a man’s wealth is what he has invested in eternity.”
That quote has lingered with me, because it was a standard that my dad could measure up to. Anybody who truly knew my dad would agree that by that eternal standard – he was one of the wealthiest men they knew, and that’s evidenced by the overwhelming number of us here today to honor his memory.
My dad was always ready to listen, pray and offer words of wisdom through the scriptures to anyone who sought him out.
During calling hours last evening, I can’t tell you how many people – some were family friends, others were complete strangers – who came through the receiving line telling me, that my dad was a “father-figure” to them when they did not have one; or the incredible role and impact that he had on their lives; or how his faith and family had been an inspiration to them.
“The true measure of a man’s wealth is what he has invested in eternity.”
Having said all that – after losing both parents so close together with decades of life still ahead of them both – it’s easy to point an accusing finger to heaven and claim that such a loss is unfair and is a cruel cosmic joke.
The knee jerk reaction is to demand an answer from God to the question – Why????
• Why are they both gone?
• Why should I go on without them?
• Why did this loving couple of such demonstrated faith have to die so young?
• Why our parents?
All of those “why” questions and many others came flooding into my mind when I heard that my dad died – because I loved him as much as I loved my mother.
Interestingly, those questions about “why” it happened, reminded me of a passage I read in a book titled A Grief Observed.
After my mom passed, I shared the book with my dad. It’s written by C.S. Lewis – an avowed atheist who became one of the greatest Christian writers and theologians of the 20th Century.
Lewis wrote the book shortly after the death of his wife, Joy Davidson, to cancer. To be honest, I don’t know if my dad ever read the book I gave him – but I’d like to read a bit of it to you about the “why” questions we all experience when we lose a loved one:
When I lay these [why] questions before God I get no answer. But a rather special sort of ‘No answer.’ It is not the locked door. It is more like a silent, certainly not uncompassionate, gaze. As though He (God) shook His head – not in refusal but waiving the question. Like, ‘Peace, child; you don’t understand.’
Can a mortal ask questions which Gods finds unanswerable? Yes, because all nonsense questions are unanswerable. Questions such as, ‘Is yellow square or round? Or ‘How many hours are in a mile?’ – have no answers. Probably half the questions we ask – half of our great theological and metaphysical problems – are nonsensical questions.
What that passage suggests is that all of our “why” questions about tragedy are the wrong types of questions to ask.
After last night’s calling hours - considering the hundreds, possibly thousands of lives my parents positively touched – I was thinking about what are the correct or right-type of questions I should ask. Questions that are not nonsensical to God and that He wants to answer for me regarding the death of my parents.
After the long line of people from last night’s calling hours who shared story-after-story about my dad’s positive impact on their lives – there was one question that came to my heart, “HOW can I be more like my father?”
And the answer from God came to my heart as quick as the question, “The true measure of a person’s wealth is what they invest in eternity.”
Despite the pain, the loss, the grief – I had an answer from heaven that brought me true inner peace. I had an answer and direction, that I’m to continue in this life and my faith until I’ve reached its end and finished well – just as my father did.
I will continue to purse the true eternal inheritance of dad and seek to have a positive impact on those lives I happen to touch – just as my father did and continues to, even in his death.
Having answered the question of “why” and why there’s a better question to ask when faced with tragedy, I ask if you’re rich in the truth, wealthy in faith and fully invested in eternity? On the other side of death’s veil, will you know that you finished well?
Allowing your life to become the answers to those questions, is worthy of life and ensures a life of worth.
Written by Tor Constantino, ex journalist of CBS and ABC, best selling author, bloger, speaker.
Source: http://thedailyretort.com/today-marks-5-years-since-my-dad-died/
Translated and posted by Hadi Kristadi for PENTAS KESAKSIAN http://pentas-kesaksian.blogspot.com
kesaksian hidup - #inspiring story - #kisah nyata - #mukjizat kehidupan - #sign and wonders - #miracles - inspirational christian story - nice story - true story - inspirational touching story - an amazing story: kisah orang biasa dengan pengalaman luar biasa - ordinary people living the extra-ordinary lives
Search This Blog
Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"
Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."
Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan
- A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
- B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
- C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
- D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
- E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
- F. Bpk. Irsan
- G. Ir. Ciputra - Jakarta
- H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
- I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
- J. Beni Prananto - Pengusaha
- K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
- L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
- M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
- N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
- O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
- P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
- Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
- R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
- S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
- T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
- U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
- V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
- W. Fanny Irwanto - Jakarta
- X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
- Y. Ir. Junna - Jakarta
- Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
- ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
- ZB. Christine - Intercon - Jakarta
- ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
- ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
- ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
- ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
- ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
- ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
- ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
- ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
- ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
- ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
- ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
- ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
- ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
- ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
- ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
- ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
- ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
- ZU. Justanti - USAID - Makassar
- ZV. Welian - Tangerang
- ZW. Dwiyono - Karawaci
- ZX. Essa Pujowati - Jakarta
- ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
- ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
- ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
- ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
- ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
- ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
- ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
- ZZF. Julia Bing - Semarang
- ZZG. Rika - Tanjung Karang
- ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
- ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
- ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
- ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI