Search This Blog

Thursday, December 25, 2008

White Envelope: A Christmas Story

(Keterangan Foto: Priscilla Natasha Kristadi di samping pohon Natal)

Kisah Natal: Amplop Putih
Itu hanya satu amplop putih kecil yang ditempelkan di antara cabang-cabang pohon Natal kami. Tanpa nama, tanpa identitas, tanpa tanda tangan. Amplop itu sudah menyembul melalui batang-batang pohon Natal selama 10 tahun atau lebih.

Semuanya dimulai karena suami saya, Mike, membenci perayaan Natal – oh, bukan membenci arti Natal sebenarnya – namun yang ia benci adalah aspek komersial dalam perayaan Natal – belanja yang boros – lari kesana kemari mencari dasi yang cocok pada saat-saat terakhir untuk Paman Harry atau bedak pewangi karpet buat Oma – semuanya adalah kado yang diberikan setelah kita putus asa mencari kado yang cocok bagi mereka.

Karena saya tahu ia merasa begitu terhadap Natal, maka saya memutuskan pada suatu kali perayaan Natal untuk berhenti memberikan kado umum seperti kemeja, sweater, dasi atau sejenisnya. Saya ingin memberikan sesuatu yang istimewa buat Mike. Inspirasinya datang secara kebetulan.

Anak kami, Kevin, yang berusia 12 pada waktu itu, biasa latihan gulat di SMP-nya, dan tepat sebelum hari Natal, ada pertandingan non-liga melawan tim lain yang disponsori oleh sebuah gereja yang jemaatnya kebanyakan orang kulit hitam.

Anak-anak muda dari gereja itu memakai sepatu butut yang masih bisa dipakai karena tali sepatunya masih baik. Sebaliknya, anak-anak kami memakai seragam biru dan warna emas yang keren, dan sepatu gulat yang kinclong.

Pada waktu pertandingan dimulai, saya terkejut melihat bahwa tim lawan bergulat tanpa memakai pelindung kepala, semacam helm kecil yang dirancang untuk melindungi telinga para pegulat.

Bagi tim kurang mampu itu, untuk membeli pelindung telinga rupanya merupakan suatu kemewahan. Well, tim kami akhirnya mengalahkan mereka dengan telak. Tim kami memenangkan semua kelas dalam pertandingan gulat itu. Dan ketika setiap anak dari tim lawan bangun dari lantai pertandingan, anak itu akan berparade dengan gagah berani, semacam kesombongan anak-anak jalanan yang tidak mau mengakui kekalahan mereka.

Mike, suami saya, yang duduk di sebelah saya menggelengkan kepalanya dengan sedih, “Saya kira seharusnya salah seorang dari anak-anak hitam itu dapat memenangkan pertandingan,” katanya. “Mereka memiliki bakat yang bagus, namun kekalahan seperti ini dapat mematahkan semangat mereka.”

Mike menyukai anak-anak - semua anak-anak – dan ia mengenal mereka, karena ia pernah menjadi pelatih kesebelasan anak-anak, baseball dan permainan Lacrosse. Itulah saat ketika saya mendapat ide untuk memberikan hadiah Natal yang istimewa itu.

Pada sore hari itu saya pergi ke toko alat-alat olahraga setempat dan membeli sejumlah pelindung kepala dan sepatu bagi para pegulat dan mengirimkannya secara anonim kepada gereja orang-orang kulit hitam itu.

Pada malam Natal, saya menempatkan satu amplop putih di pohon Natal, catatan di dalamnya memberi tahu Mike apa yang telah saya lakukan dan hal itu merupakan kado saya bagi Mike.

Senyuman Mike merupakan hal terindah selama hari Natal pada tahun itu dan pada tahun-tahun berikutnya.

Pada setiap hari Natal, saya mengikuti tradisi baru itu – pada suatu hari Natal saya mengajak sekelompok anak-anak muda yang cacat mental ke sebuah pertandingan hockey, pada hari Natal tahun berikutnya saya mengirimkan sebuah cheque kepada sepasang kakak beradik yang telah lanjut usia yang rumahnya terbakar habis sebelum hari Natal, dan sebagainya.

Amplop putih itu menjadi pusat perhatian pada hari Natal kami. Amplop itu selalu dibuka paling akhir pada pagi hari Natal, dan anak-anak kami, yang melupakan mainan baru mereka, akan berdiri dengan mata berbinar-binar saat ayah mereka membuka catatan dalam amplop putih itu.

Pada saat anak-anak kami semakin dewasa, kado mainan berubah menjadi hadiah lain yang lebih praktis, namun amplop putih itu tidak pernah kehilangan daya tariknya. Kisah ini tidak berakhir di situ.

Anda tahu, kami kehilangan Mike tahun lalu karena sakit kanker yang ganas. Ketika Natal bergulir terus, saya masih diliputi kesedihan sehingga rasanya tak mampu memasang pohon Natal. Namun pada malam Natal saya akan selalu menaruh amplop putih di pohon itu, dan pada pagi harinya, amplop itu ditemani tiga amplop atau lebih dari anak-anak saya. Setiap anak-anak saya, tanpa diketahui oleh saudaranya yang lain, telah menaruh sebuah amplop di pohon Natal bagi ayah mereka yang telah tiada.

Tradisi ini telah berkembang dan pada suatu hari nanti akan meluas bahkan semakin besar ketika cucu kami berdiri di sekitar pohon Natal dengan mata berbinar-binar menantikan ayah mereka membuka amplop putih itu. Semangat Mike, seperti halnya semangat Natal, akan senantiasa beserta dengan kami.

Semoga kita semua mengingat satu sama lain, dan mengingat alasan sesungguhnya mengapa kita merayakan Natal, dan mengingat semangat Natal yang sejati pada hari Natal ini dan selalu. Tuhan memberkati! Teruskan pesan Natal ini kepada teman-teman dan orang-orang yang anda kasihi.

Catatan dari Kevin Gavin:
Kisah ini pertama kali muncul dalam Majalah Woman’s Day pada tahun 1982. Ibu saya mengirimkan kisah ini sebagai bagian dari perlombaan menulis dimana akhirnya tulisan ibu saya memenangkan hadiah pertama. Sayangnya, ia telah meninggal karena sakit kanker dua tahun setelah tulisannya dipublikasikan. Keluarga kami masih memegang tradisi yang dimulai oleh ibu dan ayah saya, dan kami meneruskan tradisi ini kepada anak-anak kami. Anda boleh menyebarluaskan kisah ini. Hal itu memberi saya dan saudari-saudari saya sukacita yang besar karena melihat tradisi itu berlangsung terus dan telah memberi inspirasi kepada orang-orang untuk menjangkau banyak orang lain, sehingga kita semua benar-benar menghormati arti Natal yang sesungguhnya – Kevin Gavin. (Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk http://pentas-kesaksian.blogspot.com – mohon keterangan ini tidak dihilangkan ketika anda memforwardnya atau mempostingnya di blog anda – terima kasih banyak.



***********************


A Christmas Story
It's just a small, white envelope stuck among the branches of our Christmas tree. No name, no identification, no inscription. It has peeked through the branches of our tree for the past 10 years or so.

It all began because my husband Mike hated Christmas---oh, not the true meaning of Christmas, but the commercial aspects of it-overspending...the frantic running around at the last minute to get a tie for Uncle Harry and the dusting powder for Grandma---the gifts given in desperation because you couldn't think of anything else.

Knowing he felt this way, I decided one year to bypass the usual shirts, sweaters, ties and so forth. I reached for something special just for Mike. The inspiration came in an unusual way.

Our son Kevin, who was 12 that year, was wrestling at the junior level at the school he attended; and shortly before Christmas, there was a non-league match against a team sponsored by an inner-city church, mostly black.

These youngsters, dressed in sneakers so ragged that shoestrings seemed to be the only thing holding them together, presented a sharp contrast to our boys in their spiffy blue and gold uniforms and sparkling new wrestling shoes.

As the match began, I was alarmed to see that the other team was wrestling without headgear, a kind of light helmet designed to protect a wrestler's ears.
It was a luxury the ragtag team obviously could not afford. Well, we ended up walloping them. We took every weight class. And as each of their boys got up from the mat, he swaggered around in his tatters with false bravado, a kind of street pride that couldn't acknowledge defeat.

Mike, seated beside me, shook his head sadly, "I wish just one of them could have won," he said. "They have a lot of potential, but losing like this could take the heart right out of them."

Mike loved kids-all kids-and he knew them, having coached little league football, baseball and lacrosse. That's when the idea for his present came.

That afternoon, I went to a local sporting goods store and bought an assortment of wrestling headgear and shoes and sent them anonymously to the inner-city church. On Christmas Eve, I placed the envelope on the tree, the note inside telling Mike what I had done and that this was his gift from me.

His smile was the brightest thing about Christmas that year and in succeeding years. For each Christmas, I followed the tradition---one year sending a group of mentally handicapped youngsters to a hockey game, another year a check to a pair of elderly brothers whose home had burned to the ground the week before Christmas, and on and on.

The envelope became the highlight of our Christmas. It was always the last thing opened on Christmas morning and our children, ignoring their new toys, would stand with wide-eyed anticipation as their dad lifted the envelope from the tree to reveal it's contents.

As the children grew, the toys gave way to more practical presents, but the envelope never lost its allure. The story doesn't end there.

You see, we lost Mike last year due to dreaded cancer. When Christmas rolled around, I was still so wrapped in grief that I barely got the tree up. But Christmas Eve found me placing an envelope on the tree, and in the morning, it was joined by three more. Each of our children, unbeknownst to the others, had placed an envelope on the tree for their dad.

The tradition has grown and someday will expand even further with our grandchildren standing around the tree with wide-eyed anticipation watching as their fathers take down the envelope. Mike's spirit, like the Christmas spirit, will always be with us. May we all remember each other, and the Real reason for the season, and His true spirit this year and always. God bless---pass this along to your friends and loved ones.

Note:
The story first appeared in Woman's Day magazine in 1982. My mom had sent the story in as a contest entry in which she subsequently won first place. Unfortunately, she passed away from cancer two years after the story was published. Our family still keeps the tradition started by her and my father and we have passed it on to our children. Feel free to use the story. It gives me and my sisters great joy to know that it lives on and has hopefully inspired others to reach out in a way that truly honors the spirit of Christmas. --- Kevin Gavin

--- Copyright © 1982 Nancy W. Gavin
--- Submitted by Edwin G. Whitin

Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com

Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"

Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."

Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan

  • A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
  • B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
  • C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
  • D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
  • E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
  • F. Bpk. Irsan
  • G. Ir. Ciputra - Jakarta
  • H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
  • I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
  • J. Beni Prananto - Pengusaha
  • K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
  • L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
  • M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
  • N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
  • O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
  • P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
  • Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
  • R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
  • S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
  • T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
  • U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
  • V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
  • W. Fanny Irwanto - Jakarta
  • X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
  • Y. Ir. Junna - Jakarta
  • Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
  • ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
  • ZB. Christine - Intercon - Jakarta
  • ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
  • ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
  • ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
  • ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
  • ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
  • ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
  • ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
  • ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
  • ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
  • ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
  • ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
  • ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
  • ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
  • ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
  • ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
  • ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
  • ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
  • ZU. Justanti - USAID - Makassar
  • ZV. Welian - Tangerang
  • ZW. Dwiyono - Karawaci
  • ZX. Essa Pujowati - Jakarta
  • ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
  • ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
  • ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
  • ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
  • ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
  • ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
  • ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
  • ZZF. Julia Bing - Semarang
  • ZZG. Rika - Tanjung Karang
  • ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
  • ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
  • ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
  • ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI