Search This Blog

Thursday, November 13, 2008

The Other Side of The Bed

Saya kehilangan putera saya, Ryan, karena sakit kanker ketika ia baru berusia 8 tahun. Sebelum meninggal ia ada dalam kondisi setengah sadar di Rumah Sakit, dimana saya menghabiskan waktu berjam-jam bersamanya. Pada suatu larut malam, ketika semua keluarga saya pulang ke rumah, saya mematikan lampu-lampu di ruang perawatan Ryan agar menjadi redup. Saya menina-bobokan Ryan pada waktu ia tergeletak di sana. Saya berada dekat tempat tidurnya dan mendadak saya menyadari bahwa inilah mungkin saat terakhir saya melihatnya dalam keadaan hidup. Pikiran ini menggoncangkan saya, dan saya membiarkan mata saya puas memandangi putera tercinta saya, seolah-olah tidak ada kesempatan lagi pada esok hari.

Ryan telah menderita kanker selama 18 bulan, namun tidak pernah mengeluh. Ia bersikap terhadap penderitaan ini lebih baik dari pada siapapun yang saya pernah kenal. Ketika menjadi jelas bahwa ia pasti meninggal, saya memandang Ryan dengan cara yang berbeda. Orang-orang lain juga bertindak yang sama. Orang-orang mengatakan, “Di dalam diri anak itu bukanlah anak kecil. Ia lebih mirip dengan orang tua yang bijak.” Bahkan ketika kami belum tahu bahwa ia mengidap sakit kanker, Ryan akan selalu mengatakan sesuatu yang dalam dan filosofis serta berbobot, dan perhatiannya terhadap kemanusiaan sangat luar biasa. Saya ingat berkali-kali saya memandang putera saya ketika ia berkata sesuatu yang penuh dengan pemikiran yang mendalam dan filosofis, dan pada waktu itu saya akan berkata pada diri saya, “Siapakah yang saya hadapi di dalam diri anak ini?”

Saya telah mengalami perjalanan kerohanian saya sepanjang kehidupan ini dan telah mencari Bapa di berbagai banyak tempat dan kesempatan. Saya selalu menginginkan lebih dari sekedar agama tradisional, yang tidak pernah terasa cocok bagi saya. Saya tidak pernah sungguh-sungguh dapat menghidupi keagamaan seperti itu. Saya selalu memiliki pemahaman tentang berbagai hal di dalam hati sanubari saya yang akan memberi tahu saya ketika saya mendengar sesuatu dari Bapa dan apabila sesuatu tidak benar secara rohani. Hal itu seperti bunyi alarm di dalam diri saya, dan saya selalu ingin berjalan di jalan yang lebih benar.

Selama menunggu Ryan menunggu ajalnya, saya tahu bahwa saya akan belajar sesuatu atau akan dibawa pada sesuatu pemahaman yang lebih luar biasa. Sepertinya ada cahaya terang di kepala saya atau di roh saya yang meneguhkan hal itu, sehingga saya menjadi waspada dan siap.

Pada malam hari itu, ketika saya berdiri di samping tempat tidurnya, mata Ryan terpejam, dan ia ada dalam kondisi setengah sadar. Namun kemudian ia mulai berbicara dengan saya. Meskipun mulutnya tidak bergerak membentuk kata-kata, saya mendengar suaranya dengan sangat jelas yang berkata, “Bu, apakah engkau ingat tentang cerita yang engkau ceritakan kepada saya ketika saya masih kecil? Tentang suatu saat ketika saya masih di sorga sebelum saya dilahirkan, dan saya sedang mencari-cari di antara dinding-dinding sorga, mencari dan mencari sampai saya menemukan seorang wanita yang berambut merah, dan saya katakan, “Inikah wanita yang ingin saya panggil ‘Ibu’?” Saya segera mengerti apa yang Ryan maksudkan, namun saya tak berkata apa-apa.

“Nah, Bu, engkau telah hampir tepat mengisahkannya. Sekarang, pindahlah ke sisi tempat tidur yang lain.” Saya ragu, tidak tahu dengan tepat apa yang harus saya lakukan. “Ayo,” katanya. “Pindahlah ke sisi tempat tidur yang lain.” Saya pikir saya kehilangan akal saya. Apakah saya mendengar hal-hal yang aneh? Suara itu persis seperti suara Ryan, namun terdengar lembut dan tegas serta mungkin lebih dewasa. Sekali lagi ia berkata, “Bu, tolong pergi ke sisi pembaringan yang lain,” Saya berkata, “Baiklah, Ryan, saya akan pergi ke sisi pembaringan yang lain sekarang.” Saya berjalan mengelilingi tempat tidurnya agar sampai di sisi yang lain, dan Ryan melanjutkan.

“Bu, ketika engkau menceritakan kisah itu, engkau hampir tepat melakukannya. Inilah kisah yang sebenarnya. Dulu, dulu sekali, di tempat yang jauh, engkau dan saya mengadakan pembicaraan. Engkau memandang ke atas pada saya dan bertanya bagaimana engkau dapat sampai di tempat di mana saya berada, tempat kedudukan rohani saya, dan saya berkata pada waktu itu bahwa hal itu dapat dilakukan, namun hal itu akan sangat menyakitkan. Saya katakan kepada Ibu bahwa hal itu akan dicapai melalui kematian seorang putera. Saya mengatakan kepada Ibu bahwa saya akan datang dan menjadi putera Ibu seandainya Ibu mau merawat saya melewati masa sakit saya. Pada waktu itu, Bu, kita membuat perjanjian bersama, meskipun kita tidak ingat pembicaraan atau perjanjian kita. Kita akan memulai hidup yang baru bersama-sama tanpa ingat hal itu, dan entah kita akan bertumbuh dan belajar sesuatu dari pengalaman ini atau kita menjalankan kehidupan ini dengan cara yang berbeda.”

Di depan mata saya muncullah gambaran roh Ryan. Penampilan roh Ryan bagi saya seperti seorang tokoh yang telah berusia lanjut. Kemudian ia mengatakan hal yang sangat dalam. Ia berkata kepada saya, “Sekarang, inilah yang saya inginkan agar Ibu mengingatnya sementara Ibu masih ada di muka bumi ini. Setiap kali engkau akan membuat pilihan atau penilaian yang sangat penting dan akan mengubah kehidupan, engkau harus selalu pindah ke sisi tempat tidur yang lain agar engkau mendapatkan perspektif yang berbeda. Terutama sekali ketika hal itu menyangkut penilaian terhadap sesama manusia.” Ia melanjutkan bahwa hal yang paling penting adalah mengasih dan membiarkan diri saya untuk dikasihi, agar saya membuka hati saya terhadap sukacita kehidupan, karena hal ini merupakan makanan yang segar bagi jiwa dan hidup serta roh saya. Ia mengatakan kepada saya bahwa pemahaman ini akan memerlukan waktu lama. Saya akan sampai pada pemahaman itu pada saat saya membuka diri saya terhadap proses kesedihan.

Ryan meninggal segera sesudah itu, dan saya baru saja sampai di tempat kesedihan saya karena ditinggal dia dan saya akan merelakan dia pergi. Saya sangat kehilangan putera saya. Saya sangat sukar merelakan dia pergi, tetapi karena saya ingin mendapatkan pemahaman penuh tentang kesedihan ini, saya merelakan kepergiannya meskipun saya harus berusaha keras untuk bertahan dari kejadian yang paling menyakitkan dalam hidup saya: kematian anak saya yang masih kecil, Ryan.

Pada waktu saya memandang ke belakang sekarang ini pada malam itu dan pada semua masa kehidupan Ryan, saya kini dapat memandang dia dengan sebenarnya: Ryan adalah guru terbaik saya. Saya ingin menghormati dengan segala upaya saya pengalaman bersama Ryan, kemudian menolong orang-orang lain dengan hal itu. Kehidupan Ryan tidaklah sia-sia. Ia memiliki tujuan dan misi di bumi ini agar saya bertumbuh.

Dan saya ingin membagikan misinya dan menolong orang-orang lain untuk bertumbuh. Mungkin kisah saya akan membantu orang tua yang bersedih yang tak dapat mengungkapkan perasaan mereka ke dalam kata-kata, atau yang hanya perlu mendengar seseorang menyatakan kepada mereka apa yang akan mereka lalui. Kepada mereka saya berkata, “Saya mengerti bagaimana perasaan anda, dan yakinlah bahwa anda tidak sendirian. Memang anda sendirian bersedih, tetapi tidak sendirian mengalami hal itu.”

Saya percaya pengalaman orang tua yang kehilangan anaknya dapat membawa pertumbuhan dan hikmat bagi jiwa yang hanya didapat karena kehilangan seorang anak. Hal itu menyangkut pertumbuhan yang mendalam dan kudus, yang dirancang dan dibawa dari masa sebelum anda ada di bumi. Agar anda memahami semua hal ini, berjalanlah mengitari agar anda sampai di sisi pembaringan yang lain, sehingga anda dapat mempertimbangkannya dengan pemahaman yang baru. (Naskah bahasa Inggris ditulis Liz Weyhknecht, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk http://pentas-kesaksian.blogspot.com – mohon keterangan ini jangan dihapus ketika anda memforwardnya kepada orang-orang yang anda kasihi – Gbu)

*****

The Other Side of the Bed
I lost my son, Ryan, due to cancer when he was only 8 years old. Near the end, he was semi-comatose in a hospital, where I spent many hours with him. Late one night, when all the family had gone home for the evening, I turned the lights in Ryan's room down low. I had on nature sounds to sooth Ryan as he lay there. I went over to his bed and suddenly realized that I was possibly looking at him for one of the last times. The thought shook me to my shoes, and I let my eyes drink him up, as if there was no tomorrow.

Ryan had suffered for 18 months with cancer but never complained. He handled it better than anyone I have ever seen. When it became evident he was going to die, I found myself looking at him in a different way. Others did too. People would tell me things like, “That's not a little boy in there. He is more like a wise old man." Even before we found out he had cancer, Ryan would always say very profound things, and his caring for humanity as remarkable. I remember many times just looking at him when he said something profound and wondering to myself, "What am I dealing with here in this child?"

I have been on a spiritual journey my whole life and have looked for God in so many places. I always wanted more than traditional religion, which never felt right for me. I never could buy into it fully. I always had an understanding of things deep down inside of me that let me know when something I was hearing about God and spirituality wasn't right. It would be like an alarm went off inside me, and I steered clear, always looking for the truer path.

During the course of Ryan's dying, I knew that I was to learn something or be lifted to greater understanding of some sort. It was as if a light had turned on in my head or in my spirit, and I became watchful and ready.

That night, as I stood next to his bed, Ryan's eyes were closed, and he was in his semi-comatose condition. But then he began to talk to me. Though his mouth was not forming the words, I heard his voice very cleary say to me, "Mom, do you remember the story you told me when I was little? About the time I was in heaven before I was born, and I was looking over heaven's walls, searching and searching until I saw this red-headed lady, and I said 'That's the one I want to call mom'?" I knew immediately what he meant, but I said nothing.


"Well, Mom, you almost had it right. Now go to the other side of the bed." I hesitated, not knowing what exactly to do. "Go ahead," he said. "Go to the other side of the bed." I thought I was losing my mind. Was I hearing things? The voice was so much like Ryan's, but sounded gentle and resonant and perhaps more mature. Again he spoke. "Go to the other side of the bed, Mom, please." I said, "Okay, Ryan, I am going to the other side of the bed now." I walked around to the other side, and Ryan continued.


"Mom, when you told me that story, you almost had it right. This is how it truly was. A long, long time ago, in a far away place, you and I had a conversation. You were looking up to me and asking how you could get to where I was—to my spiritual level— and I told you it could be done, but that it would be very painful. I told you it would be through the death of a child. I told you I would come and be your child if you would take care of me through my illness. At that time, Mom, we made a pact together, though we would not remember our conversation or our pact. We would start our lives together without remembering, and we would either grow and learn from this experience or be destined to live it in another way."


To my mind's eye came the image of Ryan's spirit. His appearance to me was like an old sage. Then he told me the most profound thing. He told me, "Now this is what I want you to remember while you are here on earth. Whenever you are going to make an important life-changing choice or judgment, you should always go to the other of the bed to get a different perspective. Especially when it has to do with a judgment on a fellow human." He went on to tell me the most important thing is to love and to let myself be loved. To open up my heart to the joy of living, for this was nourishment for my soul and life and my spirit. He told me that this understanding would take time. I would come to that understanding as I opened myself to the process of grieving.

Ryan died soon after, and I am only just now coming to that place in my grieving for him where I can begin to let him go. I miss my little boy so much. It is hard to let him go, but I want that full understanding, I truly do, and I have tried with everything inside me to survive this most painful event in my life: the death of my little boy, Ryan.

As I look back now to that night and to all the days and nights of Ryan's life, I see him for what he truly is: my greatest teacher. I want with everything inside me to honor my experience with Ryan, then to help others with it. Ryan's life was not in vain. He had a purpose and a mission here on earth to help me to grow.

And I want to share in his mission and help others to grow. Maybe my story will help a grieving parent who can't put their feelings to words, or who just needs to hear someone validate what they are going through. To them I say, "I understand how you feel, and be assured you are not alone. Alone in your grief, yes, but not alone in your experience." I believe the experience of a parent's loss can bring growth and wisdom to the soul which only losing a child can bring. It is deep and sacred growth, planned for and carried out from a time before coming here. All it takes to grasp this is to walk around to other side of the bed and consider it with new understanding. Liz Weyhknecht

****

Terima kasih banyak kepada Ibu Suharti yang telah memforward naskah asli dalam bahasa Inggeris. Gbu

Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com

Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"

Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."

Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan

  • A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
  • B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
  • C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
  • D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
  • E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
  • F. Bpk. Irsan
  • G. Ir. Ciputra - Jakarta
  • H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
  • I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
  • J. Beni Prananto - Pengusaha
  • K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
  • L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
  • M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
  • N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
  • O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
  • P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
  • Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
  • R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
  • S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
  • T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
  • U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
  • V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
  • W. Fanny Irwanto - Jakarta
  • X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
  • Y. Ir. Junna - Jakarta
  • Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
  • ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
  • ZB. Christine - Intercon - Jakarta
  • ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
  • ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
  • ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
  • ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
  • ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
  • ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
  • ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
  • ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
  • ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
  • ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
  • ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
  • ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
  • ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
  • ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
  • ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
  • ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
  • ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
  • ZU. Justanti - USAID - Makassar
  • ZV. Welian - Tangerang
  • ZW. Dwiyono - Karawaci
  • ZX. Essa Pujowati - Jakarta
  • ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
  • ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
  • ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
  • ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
  • ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
  • ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
  • ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
  • ZZF. Julia Bing - Semarang
  • ZZG. Rika - Tanjung Karang
  • ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
  • ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
  • ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
  • ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI