Search This Blog

Monday, September 1, 2008

The Girl With The Apple

Gadis Pembawa Apel

Kisah Herman Rosenblat, Miami Beach, Florida.
Bulan Agustus 1942, di Piotrkow, Polandia. Langit mendung pagi itu ketika kami menunggu dengan gelisah. Semua pria, wanita dan anak-anak dari perkampungan Yahudi Piotrokow telah digiring ke arah sebuah lapangan. Menurut kabar yang terdengar, kami akan dipindahkan. Ayahku baru saja meninggal karena penyakit tifus, yang berjangkit dengan ganas di perkampungan yang padat ini. Ketakutanku yang paling besar adalah apabila keluarga kami dipisahkan. “Apapun yang kamu lakukan,” Isidore, kakakku yang tertua, berbisik, “jangan sebutkan umurmu yang sebenarnya. Katakan saja kamu enam belas tahun!” Aku termasuk anak lelaki yang tinggi untuk umur 11 tahun, sehingga aku dapat menuakan diri. Mungkin dengan cara ini aku dianggap menjadi pekerja yang berguna.

Seorang serdadu Nazi menghampiriku, derap sepatu boot-nya menghentak di bebatuan. Ia memandangku dari atas ke bawah, kemudian menanyakan umurku. “Enam belas,” jawabku. Ia menyuruhku ke sisi kiri, dimana tiga kakakku dan para pria lain yang sehat sudah berbaris.

Ibuku dikumpulkan di sebelah kanan bersama para wanita lain, anak-anak, orang-orang sakit dan orang-orang tua. Aku berbisik kepada Isidore, “Kenapa?” tanyaku. Ia tidak menjawab. Aku berlari ke arah mama dan berkata bahwa aku ingin ikut dengannya. “Jangan!” katanya dengan tegas. “Pergilah. Jangan mengganggu. Pergilah bersama kakak-kakakmu.” Ibu tak pernah berkata dengan keras seperti itu sebelumnya. Tetapi aku mengerti. Ia sedang melindungiku. Ia mengasihiku sedemikian besar, sehingga kali ini ia berpura-pura sebaliknya. Itulah kali terakhir aku melihat ibu.

Kakak-kakakku dan aku sendiri dipindahkan dalam truk ternak ke Jerman. Kami tiba di Kamp Konsentrasi Buchenwald pada malam hari seminggu kemudian dan kami digiring ke sebuah barak yang sesak. Hari berikutnya, kami diberi pakaian seragam dan nomor pengenal. “Jangan panggil aku Herman lagi.” kataku kepada kakak-kakakku. “Panggil saja si 94983”. Aku ditugaskan untuk bekerja di bagian krematorium di kamp itu, mengangkut jenazah ke dalam elevator yang digerakkan tangan. Aku juga merasa sudah mati. Hatiku beku, aku telah menjadi sebuah angka belaka.

Segera aku dan kakak-kakakku dikirim ke Schlieben, salah satu cabang kamp Buchenwald, dekat Berlin.

Pada suatu pagi aku pikir aku mendengar suara ibuku. “Nak,” katanya dengan lembut namun jelas, “aku mengirimkan kepadamu seorang malaikat.” Kemudian aku bangun. Cuma mimpi. Mimpi yang indah. Namun di tempat seperti ini mana ada malaikat? Yang ada hanya bekerja. Dan kelaparan. Dan ketakutan.

Beberapa hari kemudian, aku sedang berjalan-jalan keliling kamp, di belakang barak-barak, dekat pagar yang beraliran listrik dimana para penjaga tidak mudah melihat. Aku sendirian. Di seberang pagar itu, aku melihat seseorang: seorang gadis muda dengan rambut ikal yang berkilauan. Ia setengah bersembunyi di belakang pohon murad. Aku melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihatku.

Aku memanggilnya pelan-pelan dalam bahasa Jerman. “Apakah kamu punya makanan?” Ia tidak mengerti. Aku bergeser sedikit ke arah pagar dan mengulangi pertanyaan tadi dalam bahasa Polandia. Ia melangkah maju. Aku kurus kering, dengan kain rombeng menutup sekeliling kakiku, namun gadis itu nampak tidak ketakutan. Di matanya kulihat kehidupan. Ia mengambil sebutir apel dari jaket wolnya dan melemparkannya ke arah pagar. Aku menangkap buah itu, dan begitu aku akan berlari menjauh, aku mendengar perkataannya yang lemah, “Aku akan ketemu kamu lagi besok.”

Aku kembali lagi ke tempat yang sama dekat pagar itu pada waktu yang sama setiap hari. Ia selalu ada di sana dengan makanan buatku: sepotong roti atau, lebih bagus lagi, sebutir apel. Kami tidak berani ngobrol atau berlama-lama. Kalau kami tertangkap, kami bisa mati. Aku tidak mengenal gadis itu, ia cuma gadis desa, kecuali bahwa ia mengerti bahasa Polandia. Siapa namanya? Mengapa ia mempertaruhkan nyawanya bagiku? Aku selalu berharap akan pemberian makanannya yang dilemparkan gadis ini dari seberang pagar, sebagai makanan yang menyehatkan dalam bentuk roti dan apel.

Hampir tujuh bulan kemudian, kakak-kakakku dan aku dimuat ke dalam sebuah kereta batu bara dan dikapalkan ke kamp Theresienstadt di Cekoslovakia. “Jangan datang lagi,” kataku kepada gadis itu. “Kami akan pergi besok.” Aku berbalik menuju barak-barak dan tak menoleh ke belakang lagi, bahkan aku juga tidak mengatakan selamat tinggal kepada gadis yang aku tak tahu namanya, gadis pembawa apel itu.

Kami berada di Theresienstadt selama tiga bulan. Perang mulai mereda dan pasukan Sekutu mulai mendekat, namun nasibku rupanya sudah ditentukan. Pada tanggal 10 Mei, 1945, aku sudah dijadwalkan untuk mati di kamar gas pada jam 10 pagi. Di dalam ketenangan fajar pagi hari, aku berusaha mempersiapkan diriku. Begitu sering kematian nampaknya sudah siap menjemputku, namun agaknya aku selalu selamat. Kini, semuanya sudah selesai. Aku memikirkan orangtuaku. Paling tidak, aku pikir kami akan dipertemukan di akhirat.

Pada jam 8 pagi ada keributan. Aku mendengar teriakan, dan melihat orang-orang berlarian ke segala arah ke luar kamp. Aku pergi bersama kakak-kakakku. Pasukan Rusia telah membebaskan kamp ini! Pintu kamp terbuka lebar. Setiap orang berlarian, begitu juga aku.

Secara mengherankan, semua kakak-kakakku selamat. Aku tidak tahu bagaimana caranya. Namun aku tahu bahwa gadis pemberi apel itu telah menjadi kunci bagi kelangsungan hidupku. Di tempat yang nampaknya kejahatan merajalela, kebaikan seseorang telah menyelamatkan hidupku, telah memberiku harapan di tempat dimana tidak ada harapan. Ibuku telah berjanji mengirimkan seorang malaikat, dan malaikat itu telah datang.

Akhirnya aku mencapai Inggeris dimana aku disponsori oleh sebuah yayasan Yahudi, diinapkan di sebuah hostel dengan para pemuda lain yang telah selamat dari Pembantaian Massal dan dilatih di bidang elektronika. Kemudian aku pergi ke Amerika, dimana kakakku Sam telah lebih dahulu pindah. Aku masuk dinas ketentaraan Amerika Serikat selama Perang Korea, dan kembali ke Kota New York setelah dua tahun. Pada bulan Agustus 1957 aku membuka toko servis elektronika milikku sendiri. Aku mulai hidup menetap.

Pada suatu hari, temanku Sid, yang aku kenal di Inggeris, menelponku. “Aku punya teman kencan. Gadis ini punya kenalan seorang Polandia. Yuk, kita ajak kencan mereka berdua.” Kencan buta? Tidak, bukan untukku. Namun Sid terus mendesakku, dan beberapa hari kemudian kami pergi menuju Bronx untuk menjemput teman kencannya dan temannya Roma. Aku harus mengakui bahwa, untuk kencan buta seperti ini tidaklah terlalu buruk. Roma adalah seorang perawat di RS Bronx. Ia gadis yang baik dan cerdas. Juga cantik dengan rambut ikal yang cokelat, dan dengan bola mata hijau seperti buah badam yang berkilauan dengan kehidupan.

Kami berempat pergi ke Pulau Coney. Roma adalah gadis yang mudah diajak berbicara, enak diajak bergaul. Ia juga ternyata bosan dengan kencan buta! Kami berdua hanya menolong para sahabat kami. Kami berjalan-jalan di sepanjang pantai, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang bertiup dari Samudera Atlantik, dan kemudian makan malam di pantai. Aku tak dapat mengingat saat yang lebih indah lagi.

Kami semua bergegas menuju mobil Syd, aku dan Roma duduk di kursi belakang. Sebagai seorang Yahudi Eropa yang telah selamat dari perang, kami menyadari bahwa banyak hal yang belum kami bicarakan di antara kami. Ia memulai topik itu ketika ia bertanya, “Dimana kamu,” tanyanya lembut, “ketika perang?”
“Di kamp,” kataku, sambil mengingat kenangan mengerikan yang masih jelas terekam, kehilangan keluarga yang tak terpulihkan. Aku telah berjuang untuk melupakannya. Namun kita tak dapat melupakannya.

Ia mengangguk. “Keluargaku bersembunyi di sebuah peternakan di Jerman, tak jauh dari Berlin,” katanya kepadaku. “Ayahku mengenal seorang pendeta, dan ia memberikan kami dokumen-dokumen keturunan Jerman.”

Aku dapat membayangkan betapa ia harus menanggung penderitaan juga, ketakutan yang selalu menyertai. Dan sekarang di sinilah kami, berdua selamat, di dunia yang baru. “Di sana ada sebuah kamp di dekat peternakan itu.” Roma melanjutkan. “Aku melihat seorang anak laki-laki dan aku melemparkan apel kepadanya setiap hari.” Kebetulan yang sangat mengherankan kalau ia menolong anak lelaki lain. “Seperti apa rupa anak lelaki itu?” tanyaku. “Ia tinggi, kurus, kelaparan. Aku pasti menemuinya setiap hari selama enam bulan.” Hatiku berdetak kencang. Aku tak dapat mempercayainya! Mustahil. “Apakah ia mengatakan kepadamu pada suatu hari bahwa kamu tidak perlu menemuinya lagi karena ia harus meninggalkan Schlieben?” Roma menatapku dengan heran.
“Ya.”
“Dialah aku!” Aku meluap dengan sukacita dan keheranan, perasaanku berkecamuk hebat. Aku tak percaya. Malaikatku!

“Aku tak akan membiarkanmu pergi.” kataku kepada Roma. Dan di kursi belakang mobil itu dalam suasana kencan buta, aku melamar Roma. Aku tidak ingin menunggu lagi.
“Kamu gila ya!” katanya. Namun ia mengajakku menemui orangtuanya dalam suatu makan malam Sabat pada minggu berikutnya.

Banyak hal yang ingin kuketahui tentang Roma, namun hal yang paling penting aku ketahui: keteguhan hatinya, kebaikannya. Selama beberapa bulan, di dalam keadaan yang terburuk, ia selalu datang ke pagar dan memberikanku pengharapan. Sekarang aku telah menemukannya lagi, aku tidak akan pernah membiarkannya pergi. Pada hari itu, ia menyetujui lamaranku. Dan aku selalu setia pada janjiku. Setelah hampir lima puluh tahun perkawinan kami, dengan dua orang anak dan tiga cucu, aku tidak pernah membiarkannya pergi. (Sumber: Guideposts, diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk http://pentas-kesaksian.blogspot.com - mohon bagian ini jangan dihapus apabila anda memforwardnya)

***


Herman Rosenblat, Miami Beach, Florida
August 1942. Piotrkow, Poland. The sky was gloomy that morning as we waited anxiously. All the men, women and children of Piotrkow's Jewish ghetto had been herded into a square. Word had gotten around that we were being moved. My father had only recently died from typhus, which had run rampant through the crowded ghetto. My greatest fear was that our family would be separated. "Whatever you do," Isidore, my eldest brother, whispered to me, "don't tell them your age. Say you're sixteen". I was tall for a boy of 11, so I could pull it off. That way I might be deemed valuable as a worker.

An SS man approached me, boots clicking against the cobblestones. He looked me up and down, then asked my age. "Sixteen," I said. He directed me to the left, where my three brothers and other healthy young men already stood.

My mother was motioned to the right with the other women, children, sick and elderly people. I whispered to Isidore, "Why?" He didn't answer. I ran to Mama's side and said I wanted to stay with her. "No," she said sternly. "Get away. Don't be a nuisance. Go with your brothers." She had never spoken so harshly before. But I understood: She was protecting me. She loved me so much that, just this once, she pretended not to. It was the last I ever saw of her.

My brothers and I were transported in a cattle car to Germany. We arrived at the Buchenwald concentration camp one night weeks later and were led into a crowded barrack. The next day, we were issued uniforms and identification numbers. "Don'tcall me Herman anymore." I said to my brothers. "Call me 94983." I was put to work in the camp's crematorium, loading the dead into a hand-cranked elevator. I, too, felt dead. Hardened, I had become a number.

Soon, my brothers and I were sent to Schlieben, one of Buchenwald's sub-camps near Berlin. One morning I thought I heard my mother's voice. “Son,” she said softly but clearly, “I am sending you an angel.” Then I woke up. Just a dream. A beautiful dream. But in this place there could be no angels. There was only work. And hunger. And fear.

A couple of days later, I was walking around the camp, behind the barracks, near the barbed-wire fence where the guards could not easily see. I was alone. On the other side of the fence, I spotted someone: a young girl with light, almost luminous curls. She was half-hidden behind a birch tree. I glanced around to make sure no one saw me.

I called to her softly in German. "Do you have something eat?" She didn't understand. I inched closer to the fence and repeated question in Polish. She stepped forward. I was thin and gaunt, with rags wrapped around my feet, but the girl looked unafraid. In her eyes, I saw life. She pulled an apple from her woolen jacket and threw it over the fence. I grabbed the fruit and, as I started to run away, I heard her say faintly, "I'll see you tomorrow."

I returned to the same spot by the fence at the same time every day. She was always there with something for me to eat; a hunk of bread or, better yet, an apple. We didn't dare speak or linger. To be caught would mean death for us both. I didn't know anything about her, "just a kind farm girl", except that she understood Polish. What was her name? Why was she risking her life for me? Hope was in such short supply, and this girl on the other side of the fence gave me some, as nourishing in its way as the bread and apples.

Nearly seven months later, my brothers and I were crammed into a coal car and shipped to Theresienstadt camp in Czechoslovakia. "Don't return," I told the girl that day. "We're leaving." I turned toward the barracks and didn't look back, didn't even say good-bye to the girl whose name I'd never learned, the girl with the apples.

We were in Theresienstadt for three months. The war was winding down and Allied forces were closing in, yet my fate seemed sealed. On May 10, 1945, I was scheduled to die in the gas chamber at 10:00 A.M. In the quiet of dawn, I tried to prepare myself.
So many times death seemed ready to claim me, but somehow I'd survived. Now, it was over. I thought of my parents. At least, I thought we will be reunited.

At 8 A. M. there was a commotion. I heard shouts, and saw people running every which way through camp. I caught up with my brothers. Russian troops had liberated the camp! The gates swung open. Everyone was running, so I did too.

Amazingly, all of my brothers had survived; I'm not sure how. But I knew that the girl with the apples had been the key to my survival. In a place where evil seemed triumphant, one person's goodness had saved my life, had given me hope in a place where there was none. My mother had promised to send me an angel, and the angel had come.

Eventually I made my way to England where I was sponsored by a Jewish charity, put up in a hostel with other boys who had survived the Holocaust and trained in electronics. Then I came to America, where my brother Sam had already moved. I served in the U. S. Army during the Korean War, and returned to New York City after two years.
By August 1957 I'd opened my own electronics repair shop. I was starting to settle in.

One day, my friend Sid, who I knew from England, called me. "I've got a date. She's got a Polish friend. Let's double date." A blind date? No, that wasn't for me. But Sid kept pestering me, and a few days later we headed up to the Bronx to pick up his date and her friend Roma. I had to admit, for a blind date this wasn't so bad. Roma was a nurse at a Bronx hospital. She was kind and smart. Beautiful, too, with swirling brown curls and green, almond-shaped eyes that sparkled with life.

The four of us drove out to Coney Island. Roma was easy to talk to, easy to be with. Turned out she was wary of blind dates too! We were both just doing our friends a favor. We took a stroll on the boardwalk, enjoying the salty Atlantic breeze, and then had dinner by the shore. I couldn't remember having a better time.

We piled back into Sid's car, Roma and I sharing the backseat. As European Jews who had survived the war, we were aware that much had been left unsaid between us. She broached the subject, "Where were you," she asked softly, "during the war?"
"The camps," I said, the terrible memories still vivid, the irreparable loss. I had tried to forget. But you can never forget.

She nodded. "My family was hiding on a farm in Germany, not far from Berlin," she told me. "My father knew a priest, and he got us Aryan papers."

I imagined how she must have suffered too, fear, a constant companion. And yet here we were, both survivors, in a new world. "There was a camp next to the farm." Roma continued. "I saw a boy there and I would throw him apples every day." What an amazing coincidence that she had helped some other boy. "What did he look like? I asked.
"He was tall. Skinny. Hungry. I must have seen him every day for six months." My heart was racing. I couldn't believe it! This couldn't be.
"Did he tell you one day not to come back because he was leaving Schlieben?"
Roma looked at me in amazement. "Yes."
"That was me! " I was ready to burst with joy and awe, flooded with emotions. I couldn't believe it. My angel.

"I'm not letting you go." I said to Roma. And in the back of the car on that blind date, I proposed to her. I didn't want to wait. "You're crazy!" she said. But she invited me to meet her parents for Shabbat dinner the following week.

There was so much I looked forward to learning about Roma, but the most important things I always knew: her steadfastness, her goodness. For many months, in the worst of circumstances, she had come to the fence and given me hope. Now that I'd found her again, I could never let her go. That day, she said yes. And I kept my word. After nearly 50 years of marriage, two children and three grandchildren I have never let her go. Sumber: Guidepost, Florida.

Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com

Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"

Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."

Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan

  • A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
  • B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
  • C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
  • D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
  • E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
  • F. Bpk. Irsan
  • G. Ir. Ciputra - Jakarta
  • H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
  • I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
  • J. Beni Prananto - Pengusaha
  • K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
  • L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
  • M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
  • N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
  • O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
  • P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
  • Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
  • R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
  • S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
  • T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
  • U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
  • V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
  • W. Fanny Irwanto - Jakarta
  • X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
  • Y. Ir. Junna - Jakarta
  • Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
  • ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
  • ZB. Christine - Intercon - Jakarta
  • ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
  • ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
  • ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
  • ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
  • ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
  • ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
  • ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
  • ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
  • ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
  • ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
  • ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
  • ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
  • ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
  • ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
  • ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
  • ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
  • ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
  • ZU. Justanti - USAID - Makassar
  • ZV. Welian - Tangerang
  • ZW. Dwiyono - Karawaci
  • ZX. Essa Pujowati - Jakarta
  • ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
  • ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
  • ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
  • ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
  • ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
  • ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
  • ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
  • ZZF. Julia Bing - Semarang
  • ZZG. Rika - Tanjung Karang
  • ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
  • ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
  • ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
  • ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI