Pada suatu hari Jumat kelabu di bulan Januari 2007, selama jam sibuk di pagi hari dengan orang-orang yang bepergian dengan terburu-buru, seorang anak muda yang rendah hati dan bersahaja memasuki stasiun kereta api L’Enfant Plaza di Washington D.C.
Di tengah-tengah kerumunan orang banyak yang berlalu lalang, pria muda ini menemukan sebuah tempat untuk berdiri di luar jalur jalan kaki orang banyak itu. Ia membuka kotak biola yang ia bawa. Ia melemparkan ke dalam kotak biola yang terbuka itu beberapa koin dan uang receh untuk “memprakarsai pemberian”. Dan kemudian ia mulai memainkan biolanya.
Sebenarnya pria ini bukanlah pemain biola biasa. Pemain biola tak dikenal di stasiun kereta api itu adalah Joshua Bell, seorang musisi genius dan yang sangat ahli, seorang bintang di dunia simfoni. Hanya tiga hari sebelumnya para penonton harus mengeluarkan uang sejumlah $100 sampai $200 guna membeli selembar tiket untuk menyaksikan dia main di Balai Simfoni Boston. Sekarang, ketika ia berdiri hanya beberapa meter dari orang-orang yang berlalu lalang dengan bergegas ke tempat kerja mereka, dengan segenap hati Bell memainkan biola Stradivarius buatan tahun 1713 yang berharga jutaan dollar.
Bell mulai memainkan lagu “Chaconne” dari Partita No. 2 dalam D Minor gubahan Bach. Bell menyebut lagu ini sebagai “karya agung yang kuat secara perasaan dan rohani, karya yang strukturnya sempurna.” Ngomong-ngomong, lagu “Chaconne” juga dianggap sebagai lagu paling sulit yang pernah digubah untuk dimainkan oleh seorang pemain biola tunggal.
Tahu apa yang terjadi?
Apakah para pejalan kaki itu tiba-tiba berhenti di perjalanan mereka, terpesona oleh pemain biola ini, dan tersihir oleh musik yang dimainkannya?
Tidak juga. Selama tiga menit pertama dalam “konser” Bell, tak ada seorangpun pejalan kaki yang mengenali sesuatu. Tidak musiknya. Tidak juga musisinya. Tak ada apa-apa. Setiap orang terburu-buru dengan kepala tertunduk, terpaku pada tujuan mereka selanjutnya.
Pada menit keempat seorang wanita dengan cepat-cepat melemparkan uang satu dolar ke dalam kotak biola Bell yang dibiarkan terbuka. Akhirnya, setelah enam menit, seorang pejalan kaki berhenti, menyandarkan diri pada dinding, dan mendengarkan dengan serius persembahan musik yang diperdengarkan di stasiun kereta api itu.
Joshua Bell bermain biola selama 43 menit. Ia mendapatkan total uang $ 32 dari 27 sedekah. “Lebih baik sedikit dari upah harian minimum,” kata Bell di kemudian hari. Dua orang berhenti mendengarkan sungguh-sungguh. 1070 orang lainnya berlalu begitu saja di depannya, tak peduli, terpaku pada agenda mereka sendiri. Kisah ini dapat anda baca selengkapnya di sebuah artikel dalam Washington Post dengan judul “Pearls Before Breakfast”.
John Lake, seorang penulis buku “Keindahan Abadi: Di dunia Seni dan Kehidupan Sehari-hari” (2003) dengan ringkas menyimpulkan apa yang terungkap dari momen yang terlewatkan oleh para orang yang berlalu lalang dan oleh kita semua:
Seandainya kita tidak dapat mengambil waktu dari kehidupan kita untuk berhenti sejenak dan mendengarkan salah seorang musisi terbaik di dunia ini yang memainkan musik terbaik yang pernah digubah; seandainya gemuruh kehidupan modern begitu menguasai kita sehingga kita tuli dan buta terhadap hal seperti itu, betapa ruginya melewatkan hal itu.
Seandainya kita tidak dapat mengambil waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, menyatakan “I love You, Daddy God!”, mendengar suaranya, dan menyatakan isi hati kita kepadanya, betapa ruginya melewatkan hal itu.
Seandainya kita tidak dapat mengambil waktu untuk menyimak perkataan abadi penuh kuasa yang terdapat di Alkitab, yang mampu menjadi terang bagi jalan kita, dan memberi kehidupan kepada kita, betapa ruginya melewatkan hal itu.
Musik sorgawi diperdengarkan di alam ini, disampaikan di hati ini, dan ditulis dalam Alkitab, betapa ruginya melewatkan hal itu…
(Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk http://pentas-kesaksian.blogspot.com – mohon keterangan ini tidak dihilangkan apabila anda memforwardnya atau mempostingnya di website anda – terima kasih.)
****
On a grey Friday in January 2007, during the peak of the early morning commuter rush, an unassuming young man entered the L’Enfant Plaza train station in Washington D.C.
As the crowds rushed by, the man found a place to stand out of the way of the foot traffic. He opened the violin case he carried. He threw into the case a few coins and dollar bills to “prime the pump.” And then he proceeded to begin playing.
But this was no ordinary street musician. The anonymous violinist in the train station was Joshua Bell, renowned virtuoso, star of the symphony circuit. Only three days earlier audiences had shelled out between 100.00 to 200.00 bucks for a ticket to watch him play at Boston ’s Symphony Hall. Now, as he stood just a few feet from clueless commuters hurrying to work, Bell played his heart out on his multi-million dollar 1713 Stradivarius violin.
Bell began with “Chaconne,” from Bach’s Partita No. 2 in D Minor. Bell calls this a “spiritually powerful piece, emotionally powerful, structurally perfect.” By the way, “Chaconne” is also considered one of the most difficult violin solos ever written.
Can you guess what happened?
Did busy commuters suddenly stop in their tracks, mesmerized by this master violinist, and drift towards the magical music?
Not so much. For the first three minutes of Bell ’s “concert” no one passing by acknowledged anything. Not the music. Not the musician. Nothing. Nada. Everyone hurried by, head down, fixated on their next destination.
At four minutes one woman hurriedly tossed a dollar into Bell ’s open violin case. Finally, after six minutes, one commuter stopped, leaned against a wall, and listened to the gift that was being poured out into that train station air.
Bell played for 43 minutes. He made a grand total of $32.00 off of 27 donations. (“Better than minimum wage,” Bell noted later). Two people stopped to listen. The other 1,070 people who passed in front of him simply skittered by, oblivious, obsessed by their own agendas. (You can find this story, along with some video clips you can use, by Googling the Washington Post article “Pearls Before Breakfast”).
John Lake, author of "Timeless Beauty: In The Arts and Everyday Life" (2003), succinctly summed up what this missed moment revealed about all those busy commuters, and about us:
If we can’t take the time out of our lives to stay a moment and listen to one of the best musicians on Earth play some of the best music ever written; if the surge of modern life so overpowers us that we are deaf and blind to something like that, then what else are we missing? … (Sumber: Sermon Resources)
Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com
kesaksian hidup - #inspiring story - #kisah nyata - #mukjizat kehidupan - #sign and wonders - #miracles - inspirational christian story - nice story - true story - inspirational touching story - an amazing story: kisah orang biasa dengan pengalaman luar biasa - ordinary people living the extra-ordinary lives
Search This Blog
Wednesday, November 19, 2008
Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"
Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."
Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan
- A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
- B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
- C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
- D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
- E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
- F. Bpk. Irsan
- G. Ir. Ciputra - Jakarta
- H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
- I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
- J. Beni Prananto - Pengusaha
- K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
- L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
- M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
- N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
- O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
- P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
- Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
- R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
- S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
- T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
- U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
- V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
- W. Fanny Irwanto - Jakarta
- X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
- Y. Ir. Junna - Jakarta
- Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
- ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
- ZB. Christine - Intercon - Jakarta
- ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
- ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
- ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
- ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
- ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
- ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
- ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
- ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
- ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
- ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
- ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
- ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
- ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
- ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
- ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
- ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
- ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
- ZU. Justanti - USAID - Makassar
- ZV. Welian - Tangerang
- ZW. Dwiyono - Karawaci
- ZX. Essa Pujowati - Jakarta
- ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
- ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
- ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
- ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
- ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
- ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
- ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
- ZZF. Julia Bing - Semarang
- ZZG. Rika - Tanjung Karang
- ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
- ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
- ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
- ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI