Search This Blog

Sunday, July 1, 2007

Disiksa Ibu Kandung (1)

Ini kisah tentang Dave Pelzer. 5 Maret 1973, Daly City, California. Aku terlambat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan mencuci peralatan makan secepatnya, kalau tidak, aku tidak dapat jatah sarapan, dan karena semalam aku tidak makan, jadi sekarang aku harus makan sesuatu. Ibu mondar-mandir sambil berteriak-teriak kepada saudara-saudara lelakiku. Aku bisa mendengar langkah-langkahnya yang berat menuju dapur. Cepat-cepat aku membilas lagi. Tapi terlambat.

Ibu menarikku dengan kasar. Plaaakk! Ibu memukul mukaku, dan aku terjatuh. Aku tahu, lebih baik aku jatuh daripada tetap berdiri dan dipukul lagi. Kalau aku tetap berdiri, Ibu akan menganggap itu sebagai sikap membantah, dan itu artinya beberapa pukulan lagi akan mendarat di tubuhku, atau, yang paling kutakutkan, aku tidak diberi sisa makanan bekas dari piring saudara-saudaraku.

Aku menunjukkan sikap ketakutan, sambil terus-menerus mengangguk, seakan memahami arti ancaman-ancaman yang keluar dari mulutnya. Satu pukulan lagi menyentakkan kepalaku hingga membentur pinggiran dinding. Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak tahan menerima siksaan Ibu. Lalu ia ke luar dari dapur, tampaknya ia puas akan perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkah-langkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar telah menjauh, dan akupun menarik nafas lega. Ibu boleh memukuliku sesuka hatinya, tapi aku tak membiarkannya mengalahkan tekadku untuk bertahan hidup.

Karena terlambat datang di sekolah, aku harus melapor ke ruang tata usaha. Ibu sekretaris di ruang itu menyambutku dengan senyuman. Tak lama kemudian Pembimbing Sekolah muncul dan mengajakku ke ruang kerjanya, lalu kami melakukan hal-hal yang sudah biasa kami lakukan. Pertama, ia memeriksa muka dan lenganku.
“Bagian atas matamu kenapa?”
“Oh, itu terbentur pintu, tak sengaja.” kataku, menirukan kata-kata yang diajarkan ibuku.

Pembimbing Sekolah hanya tersenyum. Ia mengambil catatannya. Ia membalik-balik catatannya, lalu menujukkan padaku tulisan di catatan itu, “Coba lihat ini,” katanya, “kamu mengatakan hal yang sama hari Senin kemarin. Kau ingat?” Cepat-cepat aku ganti dalihku. “Oh, aku sedang main bisbol, lalu pemukulnya mengenai aku. Tidak sengaja koq.” Tetapi Pembimbing Sekolah lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah tidak mempan dibohongi dalih-dalihku yang selalu ingin melindungi Ibu. Dengan caranya, ia selalu berhasil membuatku mengatakan kejadian yang sebenarnya. Pada akhirnya aku selalu mengaku sambil terisak.

Prosedur itu diteruskan seperti biasanya. Pembimbing Sekolah meminta aku membuka baju. Ini sudah kami lakukan sejak dua tahun lalu, jadi sekarang aku menurut saja. Kemejaku penuh lubang, lebih banyak lubangnya dari lubang di keju Swiss. Selama dua tahun ini itulah satu-satunya baju yang dapat kupakai. Ibu menyuruhku memakai baju itu setiap hari. Begitulah caranya ia menghinaku. Celana yang kupakai juga sama jeleknya. Sepatuku berlubang di bagian ujung depan, sampai-sampai aku dapat mengeluarkan dan menggerak-gerakkan ujung jempolku keluar melalui salah satu lubang-lubang itu.

Lalu aku berdiri hanya mengenakan celana dalam, sementara Pembimbing Sekolah mencatat luka dan memar di sekujur tubuhku pada buku catatannya. Ia teliti betul. Selanjutnya, ia membuka mulutku untuk memeriksa gigi-gigiku, yang patah atau copot akibat dibenturkan Ibu ke pinggiran bak pencuci piring. Kemudian ia memeriksa sekali lagi seluruh tubuhku, lalu berhenti di luka sobek yang sudah lama di bagian perutku. “Yang itu,” katanya dengan nada suara yang agak tertahan, “luka akibat tusukan ibumu, ‘kan?” “Ya, bu.” jawabku.

Pembimbing itu menangkap kekhawatiran dan ketakutan di mataku akibat pengakuanku. Ia segera meletakkan buku catatannya, lalu memelukku. “Aduh, enaknya,” kataku dalam hati, “Ibu Pembimbing ini begitu hangat.” Aku tak mau melepaskannya. Aku mau selamanya dipeluk begini. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Rasanya begitu aman, tak terjadi apa-apa. Ia mengusap kepalaku. Aku tersentak oleh rasa sakit pada luka bengkak akibat pukulan ibuku tadi pagi. Pembimbing itu melepaskan pelukannya dan keluar ruangan. Cepat-cepat aku mengenakan kembali pakaianku.

Begitu masuk kelas, semua murid menutup hidung dan serentak mengeluarkan suara seperti mendesah. Guru pengganti yang mengajar pagi itu mengibaskan tangan di depan wajahnya. Ia belum terbiasa dengan bau badanku. Belum lagi aku duduk di tempat dudukku, aku dipanggil kembali ke ruang kepala sekolah. Semua murid di kelas itu berseru, “Huuuuuuuu.” ke arahku, tanda penolakan oleh sesama murid kelas lima SD.

Begitu sampai ke ruang kepala sekolah, sejenak aku heran apa yang kulihat. Di ruangan itu duduk di sekeliling sebuah meja, beberapa orang guru, Mr. Hansen sang kepala sekolah dan seorang polisi. Rasanya kakiku tak mau digerakkan. Aku bingung, karena aku tak mencuri bekal makanan siapapun hari ini. Semua orang di ruangan itu tampak tersenyum menyambutku. Sama sekali aku tak tahu bahwa mereka akan mempertaruhkan pekerjaan mereka demi menyelamatkan diriku dari kegilaan Ibuku.

Pak Polisi di ruangan itu memberitahuku mengapa Mr. Hansen memanggilnya. Rasanya badanku mengerut di kursi yang kududuki. Pak Polisi meminta aku menceritakan tentang Ibu. Aku menggeleng, tak mau. Sudah terlalu banyak orang tahu rahasia tentang Ibu. Ada suara lembut yang membuatku nyaman. Rasanya itu suara Miss Moss, guru matematika. Ia menghiburku. “Tak apa-apa,” katanya. Aku menarik nafas panjang. Sambil meremas-remas jari tanganku sendiri, dengan agak segan kuceritakan apa saja yang pernah terjadi antara aku dan Ibu. Pembimbing Sekolah menyuruhku berdiri, lalu memperlihatkan luka-luka di sekujur tubuhku. Cepat-cepat kutambahkan bahwa itu tak disengaja. Ibu tak sengaja menusukku. Aku menangis. Kukeluarkan apa yang selama ini kupendam, bahwa Ibu menghukumku karena aku nakal. Setelah bertahun-tahun tersiksa begini, aku tahu tak seorangpun bisa melakukan sesuatu yang dapat mengubah keadaanku. Tapi ternyata aku keliru kali ini. (Bersambung)
Posted by Hadi Kristadi for http://pentas-kesaksian.blogspot.com

Kesaksian Pembaca Buku "Mukjizat Kehidupan"

Pada tanggal 28 Oktober 2009 datang SMS dari seorang Ibu di NTT, bunyinya:
"Terpujilah Tuhan karena buku "Mukjizat Kehidupan", saya belajar untuk bisa mengampuni, sabar, dan punya waktu di hadirat Tuhan, dan akhirnya Rumah Tangga saya dipulihkan, suami saya sudah mau berdoa. Buku ini telah jadi berkat buat teman-teman di Pasir Panjang, Kupang, NTT. Kami belajar mengasihi, mengampuni, dan selalu punya waktu berdoa."

Hall of Fame - Daftar Pembaca Yang Diberkati Buku Mukjizat Kehidupan

  • A. Rudy Hartono Kurniawan - Juara All England 8 x dan Asian Hero
  • B. Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo
  • C. Pdt. Ir. Djohan Handojo
  • D. Jeffry S. Tjandra - Worshipper
  • E. Pdt. Petrus Agung - Semarang
  • F. Bpk. Irsan
  • G. Ir. Ciputra - Jakarta
  • H. Pdt. Dr. Danny Tumiwa SH
  • I. Erich Unarto S.E - Pendiri dan Pemimpin "Manna Sorgawi"
  • J. Beni Prananto - Pengusaha
  • K. Aryanto Agus Mulyo - Partner Kantor Akuntan
  • L. Ir. Handaka Santosa - CEO Senayan City
  • M. Pdt. Drs. Budi Sastradiputra - Jakarta
  • N. Pdm. Lim Lim - Jakarta
  • O. Lisa Honoris - Kawai Music Shool Jakarta
  • P. Ny. Rachel Sudarmanto - Jakarta
  • Q. Ps. Levi Supit - Jakarta
  • R. Pdt. Samuel Gunawan - Jakarta
  • S. F.A Djaya - Tamara Jaya - By Pass Ngurah Rai - Jimbaran - Bali
  • T. Ps. Kong - City Blessing Church - Jakarta
  • U. dr. Yoyong Kohar - Jakarta
  • V. Haryanto - Gereja Katholik - Jakarta
  • W. Fanny Irwanto - Jakarta
  • X. dr. Sylvia/Yan Cen - Jakarta
  • Y. Ir. Junna - Jakarta
  • Z. Yudi - Raffles Hill - Cibubur
  • ZA. Budi Setiawan - GBI PRJ - Jakarta
  • ZB. Christine - Intercon - Jakarta
  • ZC. Budi Setiawan - CWS Kelapa Gading - Jakarta
  • ZD. Oshin - Menara BTN - Jakarta
  • ZE. Johan Sunarto - Tanah Pasir - Jakarta
  • ZF. Waney - Jl. Kesehatan - Jakarta
  • ZG. Lukas Kacaribu - Jakarta
  • ZH. Oma Lydia Abraham - Jakarta
  • ZI. Elida Malik - Kuningan Timur - Jakarta
  • ZJ. Luci - Sunter Paradise - Jakarta
  • ZK. Irene - Arlin Indah - Jakarta Timur
  • ZL. Ny. Hendri Suswardani - Depok
  • ZM. Marthin Tertius - Bank Artha Graha - Manado
  • ZN. Titin - PT. Tripolyta - Jakarta
  • ZO. Wiwiek - Menteng - Jakarta
  • ZP. Agatha - PT. STUD - Menara Batavia - Jakarta
  • ZR. Albertus - Gunung Sahari - Jakarta
  • ZS. Febryanti - Metro Permata - Jakarta
  • ZT. Susy - Metro Permata - Jakarta
  • ZU. Justanti - USAID - Makassar
  • ZV. Welian - Tangerang
  • ZW. Dwiyono - Karawaci
  • ZX. Essa Pujowati - Jakarta
  • ZY. Nelly - Pejaten Timur - Jakarta
  • ZZ. C. Nugraheni - Gramedia - Jakarta
  • ZZA. Myke - Wisma Presisi - Jakarta
  • ZZB. Wesley - Simpang Darmo Permai - Surabaya
  • ZZC. Ray Monoarfa - Kemang - Jakarta
  • ZZD. Pdt. Sunaryo Djaya - Bethany - Jakarta
  • ZZE. Max Boham - Sidoarjo - Jatim
  • ZZF. Julia Bing - Semarang
  • ZZG. Rika - Tanjung Karang
  • ZZH. Yusak Prasetyo - Batam
  • ZZI. Evi Anggraini - Jakarta
  • ZZJ. Kodden Manik - Cilegon
  • ZZZZ. ISI NAMA ANDA PADA KOLOM KOMENTAR UNTUK DIMASUKKAN DALAM DAFTAR INI