Tanpa rencana, pada tahun 1986 bersama suami dan anak, Swandani hijrah dari Bandung ke Jakarta. “Terus terang, ketika itu belum kebayang Jakarta itu kayak apa dan mau ngapain di Jakarta?” ujarnya mengenang. Belum setahun di Jakarta suaminya, Heru, sering sakit-sakitan akibat tekanan pekerjaan. Menghadapi kenyataan itu Swandanipun berpikir keras tentang usaha apa yang akan ia jalankan apabila nanti sang suami tidak mampu lagi mencari nafkah. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk berjualan rujak dan jus di garasi rumahnya. Alasan memilih rujak sebagai dagangan sungguh sederhana, “Aku sangat suka makan rujak!” cetusnya geli. Sebelum itu dia memang sudah sering mengulek rujak untuk dimakan sendiri ketika merasa harga rujak itu mahal.
Selama tiga bulan pertama, hasil penjualan rujaknya sangat minim karena pada waktu itu musim hujan. Namun Swandani pantang menyerah. Siang hari dia berjualan, sore hari dia menyebarkan brosur. Rasa capek seolah terbayar ketika menjelang memasuki bulan keempat omsetnya meningkat dari Rp. 3.000,- menjadi Rp. 10.000,- per hari, bahkan tidak jarang Rp. 25.000,- Di tahun 1980-an, uang sebesar itu nilainya sudah lumayan besar.
Setelah sukses berjualan rujak dan jus, Swandani mulai menambah menu lain, yaitu gado-gado. Pilihan ini dilatari oleh kegemaran orang Jakarta akan gado-gado. Berhubung dia belum pernah bikin gado-gado, tidak sedikit pembeli yang ngomel karena rasanya tidak karuan. Sang suami yang ternyata telah pulih kesehatannya dan kembali bekerja juga turut mengritik gado-gado buatan Swandani ini. Setelah tiga hari bereksperimen mencoba formula baru gado-gado, barulah para pelanggan merasa cocok. Dengan sendirinya omzetpun meningkat.
Usaha wanita berambut pendek itu kini menuai hasilnya. Ia telah merintis usaha rumah makan yang kondang dengan nama “Dapur Solo” di daerah Sunter, Jakarta Utara. Di tempat ini dia menyediakan makanan seperti nasi kuning, salad solo, gado-gado, rujak, jus buah, dan lain-lain.
Tiada kata cukup untuk bisnis. Wanita kelahiran 10 Desember 1961 yang suka jalan-jalan ini terus berpikir bagaimana mengembangkan usahanya. Ia mulai merencanakan untuk membeli sebuah ruko. Ternyata itu tidak mudah mengingat modalnya belum mencukupi. Suaminya dengan pesimistis bertanya, “Darimana kita mendapat uang untuk membeli ruko ini?” Namun Swandani terus meyakinkan suaminya bahwa setiap niat yang baik, jika dilakukan dengan usaha keras dan doa, pasti akan ada jalannya.
Swandani benar. Jalan itu mulai tampak ketika beberapa waktu kemudian perusahaan real estate tempat suaminya bekerja membangun kompleks ruko di kawasan Sunter Paradise, Jakarta Utara. Perusahan ini memberi keringanan bagi Swandani untuk membeli ruko itu dengan cara cicilan.
Setelah usahanya pindah ke ruko itu, rumah makan Swandani yang diberi nama “Dapur Solo” semakin berkembang. Menu makanannyapun makin disesuaikan dengan selera pelanggannya. Para karyawan yang bekerja di sekitar Sunter banyak yang menikmati makan siang di sini. Dengan makin berkembangnya “Dapur Solo”, maka Swandani perlu merekrut beberapa karyawan untuk memasak dan melayani pelanggan.
Usaha yang dirintis dengan coba-coba, dan “pasalnya aku bukan ahli masak” demikian pengakuan Swandani, kini telah berkembang pesat berkat kerja keras dan doa. Kisah ini diambil dari tabloid Reformata edisi 60/Juni 2007. Diedit seperlunya.
Posted by Hadi Kristadi for http://pentas-kesaksian.blogspot.com