Tuesday, November 13, 2007

Menjadi Sarjana Hukum Meskipun Buta (1)

Berikut ini adalah kesaksian sdri. Monica Linda SH. Saya pernah bertemu dan mendengarkan kesaksiannya beberapa kali di gereja dan persekutuan. Kisah ini diambil dari Majalah "Mission" Edisi September 2007.

Kecelakaan
Saya anak pertama dari enam bersaudara. Karena keluarga tidak mampu, sejak berusia lima tahun saya sudah bekerja membantu orangtua berjualan kue dan es lilin. Sama dengan anak-anak seusia, saya pun juga suka bermain. Sesekali, di waktu luang, saya mengambil waktu untuk bermain. Suatu hari, di usia tujuh tahun, saya mengalami kecelakaan. Kala itu saya dan adik diam-diam pergi bermain ke taman. Di taman itu ada ayunan yang terbuat dari tali tambang dan papan. Kami berdua bergantian bermainan ayunan. Ketika giliran saya untuk berayun, tiba-tiba papan ayunan lepas dari talinya. Saya jatuh ke belakang dengan kepala membentur tanah. Cukup keras, namun saya berusaha bangun. Kepala saya terasa pusing, sakit sekali rasanya.

Dengan kekuatan yang ada, saya kembali ke rumah. Saya pun berpesan pada adik agar jangan bercerita kepada mama dan papa. Karena kalau diberitahu, pasti saya dimarahi mama dan papa. Saat berjalan pulang menuju rumah, papa melihat dan curiga dengan cara berjalan saya yang tidak stabil. Memang saya jalannya nabrak-nabrak dan tidak bisa tegak. Saya pikir karena masih ada rasa pusing akibat jatuh dari ayunan tadi. Kemudian saya langsung tidur, dan setelah bangun dari tidur kepala benjol dan saya muntah-muntah. Kejadian ini tidak bisa saya sembunyikan. Orangtua pun menanyakan apa yang telah terjadi. Saya terpaksa beritahu kejadian kala bermain ayunan. Ketakutan saya kena marah dan dipukul oleh orangtua pun akhirnya terjadi.

Dinyatakan Buta

Tak lama kemudian, saya dibawa ke dokter puskesmas. Setelah diperiksa, dokter bilang tidak apa apa dan diberi obat. Saya pikir, minum obat pasti sembuh. Tapi pada hari ketiga, keadaan bertambah buruk. Saya tidak bisa bangun, susah makan, napas terkadang sesak, sehingga badan jadi sangat lemas. Karena keadaan makin buruk, saya dibawa ke dokter lagi. Ketika diperiksa, dokter bilang tidak terjadi apa-apa. Saya kembali ke rumah. Kata orang, kalau jatuh dan kepala terantuk batu, baiknya digosok dengan arak. Maka di rumah, orang tua menggosok kepala saya dengan arak. Gosokan itu bukan membaik, malah benjolan itu bertambah besar. Setiap makanan yang saya makan pasti keluar, bahkan sampai keluar dari hidung.

Pada hari ke enam, orangtua saya mengamati sakit saya tidak ada perubahan, terutama pada kepala dan mata ada yang tidak beres. Hari ke tujuh orang tua memutuskan untuk berobat ke Jakarta. Menurut mereka mungkin di Bangka Belitung peralatannya belum lengkap, sehingga tidak bisa mendeteksi. Setelah dokter di Jakarta melihat dari hasil rontgen, saya harus segera siap untuk dioperasi. Menurut dokter, untung saya segera dibawa, jika tidak saya akan segera meninggal.

Opa yang ikut mengantar saya segera menyetujui operasi. Malam sebelum dioperasi, saya tidak bisa melihat apa-apa. Padahal sebelumnya saya masih bisa melihat perawat dan dokter meski secara dekat. Operasi pun dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. Hasilnya, saya dinyatakan buta. Semua saraf menjadi lumpuh, sehingga saya hanya bisa tidur-tiduran.

Selama setengah bulan di rumah sakit, banyak saudara dan teman-teman yang menjenguk. Setelah itu saya diijinkan pulang dan tinggal di rumah saudara di Jakarta. Saya tetap berobat dan lakukan terapi. Jalan saya tidak bisa, pegang sendok pun tidak juga, sehingga saya harus digendong dan disuapi. Setelah empat bulan ikut terapi, lambat laun saya bisa berjalan kembali dengan perlahan-lahan. (Bersambung)

Diposting oleh Hadi Kristadi untuk PENTAS KESAKSIAN
http://pentas-kesaksian.blogspot.com