Mulanya sikap Ibu sangat baik kepada kami semua, aku, Ron, dan Stan. Ia pernah menjadi Ibu ideal bagi kami. Kami masih ingat saat-saat manis berpiknik bersama ayah dan ibu, dan saudara-saudaraku. Namun pada suatu saat hubunganku dengan Ibu berubah drastis ketika Ibu banyak menghabiskan waktunya seharian tiduran di kursi menonton televisi sambil menikmati minuman kerasnya.
Aku mulanya dihukum di pojok kamar, tidak boleh menonton tv, tidak boleh bermain, tidak boleh kemana-mana sampai diizinkan ibu. Kemudian Ibu memutuskan bahwa hukuman pojok kamar tidak mempan, lalu ia memperkenalkan “hukuman cermin”. Wajahku ditempelkan dan ditekan pada kaca cermin. Lalu wajahku yang basah oleh airmata digesek-gesekannya pada permukaan cermin yang licin dan memantulkan wajahku. Kemudian Ibu memaksaku untuk berkata, “Aku anak nakal! Aku anak nakal!” Demikian berulang-ulang. Kemudian aku dipaksa berdiri, disuruh melihat ke cermin, sementara Ibu menonton tv.
Ketika acara tv menayangkan iklan, Ibu akan bergegas menuju kamar untuk memeriksa apakah aku masih memandang ke arah cermin, lalu ia akan berkata kepadaku betapa aku adalah anak yang memuakkan. Sekali-sekali saudara-saudaraku masuk ke kamar saat aku mendapat “hukuman cermin”, lalu mereka memandang ke arahku, sambil mengangkat bahu sedikit, lalu meneruskan permainan mereka, seolah-olah aku tidak ada di situ. Mulanya sikap mereka itu membuat aku tersinggung, namun aku segera paham bahwa itu mereka lakukan semata-mata demi menyelamatkan diri mereka sendiri.
Suatu saat Ibu mendatangiku dengan kedua tangannya terentang dan terangkat. Mata Ibu berkilat dan merah, nafasnya bau alkohol. Aku menutup mataku begitu pukulan Ibu bertubi-tubi menghantamku dari kiri dan kanan. Kucoba menggunakan tangan untuk melindungi wajahku, tapi Ibu dengan mudah menyingkirkannya. Pukulannya kurasakan seakan tak akan pernah berhenti. Akhirnya kulingkarkan lengan kiriku untuk menutupi wajahku. Saat Ibu berusaha menarik lenganku, ia kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke belakang, sementara tangannya masih mencengkeram lengan kiriku. Ibu berusaha agar tidak jatuh sehingga lengan kiriku tertarik keras. Saat itulah kudengar suara gemeretak, lalu aku merasa sangat kesakitan pada bahu dan lenganku. Ibu tampak tertegun, dan begitu saja melepaskan cengkeramannya dari lengan kiriku. Ia pergi begitu saja. Perlahan-lahan kucoba menggerakkan lengan kiriku. Rasa sakitnya tak tertahankan. Lengan kiriku tak dapat bergerak sama sekali. Ketika keadaanku semakin parah Ibu membawaku ke Rumah Sakit sambil membual bahwa aku terjatuh dari tempat tidur. Dokter yang merawatku sama sekali tidak percaya bahwa cedera pada lenganku diakibatkan karena terjatuh.
Ada saja gara-gara yang Ibu timpakan kepadaku. Ia menuduhku bermain-main di rumput di sekolah. Menurut imajinasinya, aku telah bersalah melanggar peraturan yang dibuatnya. Kemudian Ibu menyalakan api di kompor dan akan memanggangku di atasnya. “Kau membuat hidupku seperti di neraka!” katanya penuh cemooh. “Kini saatnya kutunjukkan padamu apa itu neraka.” Dengan mencengkeram kuat lenganku, Ibu meletakkannya di atas api yang berwarna biru jingga. Akibat panasnya api, aku merasa lenganku matang. Tercium olehku bau bulu-bulu lenganku yang terbakar, kulitku yang terbakar. Aku menjerit-jerit kesakitan. Sehebat apapun perlawanan yang kuberikan, aku tak mampu melepaskan lenganku dari cengkeraman Ibu.
Akhirnya aku jatuh ke lantai, sambil meniupkan udara dingin ke lenganku yang terbakar. “Sayang sekali, ayahmu yang pemabuk itu tidak di rumah sehingga ia tidak bisa menyelamatkanmu!” desisnya. Kemudian Ibu menyuruhku naik ke atas kompor dan berbaring di atas api, sehingga ia bisa menyaksikan tubuhku terbakar. Aku menolak, sambil menangis mengiba-iba. Aku begitu ketakutan sampai-sampai kuhentak-hentakkan kakiku ke lantai sebagai tanda protes. Tetapi Ibu tetap memaksaku. Kutatap api kompor, sambil berdoa agar api itu padam karena kehabisan gas. Aku tahu bahwa aku harus mengulur-ulur waktu sampai seseorang datang ke rumah, sampai kakakku Ron pulang. Ibu tak akan gila ketika ada orang lain datang ke rumah. Aku mulai bermanis-manis, bertanya ini itu kepada Ibu. Kelakuanku membuat Ibu bertambah ganas, ia mulai menghujani pukulan ke kepala dan dadaku. Semakin membabi buta Ibu memukuliku, semakin aku sadar bahwa aku menang. Apapun boleh Ibu lakukan terhadapku, asal aku jangan dibakar di atas kompor. Akhirnya kudengar pintu depan dibuka seseorang. Ibu terperangah. Kesempatan itu aku gunakan untuk lari ke basement yang lembab dan gelap. (Bersambung)
Posted by Hadi Kristadi for http://pentas-kesaksian.blogspot.com