Saya dibesarkan dalam keluarga yang berantakan karena sejak usia lima tahun, orang tua saya sudah bercerai. Sejak itu saya dimasukkan ibu ke Panti Asuhan Don Bosco di Surabaya. Dari asrama inilah kepremanan saya dimulai.
Di panti asuhan kami dididik secara Katholik. Meskipun ketatnya peraturan dan ajaran agama yang berlaku, namun hukum rimba tetap terjadi. Di panti, anak-anak orang kaya tidak setiap bulan mendapat jatah kiriman uang dan makanan dari orang tua mereka. Karena itu diantara anak-anak panti sering terjadi perebutan makanan dan perkelahian. Anak-anak orang kaya itu sering menggunakan jasa tukang pukul, yang tidak lain adalah teman-teman di panti yang punya otot dan kenekadan. Biasanya tenaga tukang pukul itu adalah anak-anak dari golongan keluarga yang yang mampu. Saya adalah salah satu tukang pukul yang “disewa” mereka.
Saya mengawali profesi tukang pukul sejak di bangku SD. Setiap hari saya berkelahi dengan teman-teman sendiri demi membela “tuan kecil” saya. Semakin lama saya menyukai profesi ini, sehingga meningkat menjadi preman hingga saya sekolah di SMU. Untuk menunjang profesi saya, saya mengikuti latihan beladiri hingga ke tingkat sabuk hitam. Pada waktu itu tindakan saya sudah sangat meresahkan teman-teman karena hampir tiap hari saya selalu mengompas dan memeras mereka.
Setelah menikah saya masih tetap menjalankan pekerjaan ini. Bahkan saya mulai mempelajari ilmu kebal, tahan pukul dan tahan bacokan. Tetapi ilmu yang saya pelajari itu tidak banyak menolong. Suatu ketika badan saya terasa sakit sehabis dipukul orang karena risiko pekerjaan. Tubuh saya terasa panas dan kepala sangat pusing. Saya merasa sedemikian sakitnya sehingga saya sampai membentur-benturkan kepala saya ke tembok. Obat sakit kepala segala merek telah saya minum, namun hasilnya tidak ada, tidak mengurangi rasa sakit hebat itu. Saya demam tinggi, tubuh saya menggigil kedinginan. Di sekujur tubuh saya terasa “senut senut” seperti digigit ribuan semut.
Seorang teman datang kepada saya dan berkata,
“Kamu mau sembuh?”
“Ya, jelas dong! Terserah pakai cara apa saja,aku mau sembuh!”
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan ajak pendeta saya ke sini supaya kamu didoakan.” katanya dengan penuh keyakinan.
Malam harinya kira-kira pukul 10 seorang pendeta bersama isterinya datang ke rumah kami. Mereka mengajukan banyak pertanyaan. Diantaranya sang pendeta bertanya, “Apabila bapak disebuhkian Tuhan, apakah nanti bapak mau rajin beribadah di gereja?” Pertanyaan itu langsung saya jawab,”Sudahlah pak, percayalah, saya akan pergi ke gereja setelah saya sembuh. Jangan terlalu banyak omong, doakan saja!”
Setelah berdoa, pendeta beserta isterinya pamit pulang sambil berpesan, “Nanti kalau sudah sembuh, bapak harus rajin ikut persekutuan ya!” Kami mengiakan dan berjanji akan mencari tempat persekutuan yang terdekat. Tak lama setelah itu saya tertidur.
Keesokan paginya, ternyata benar, saya sudah sembuh! Tapi dasar manusia, setelah sembuh saya melupakan janji saya kepada Tuhan dan pendeta itu untuk beribadah dan ikut persekutuan. Akhirnya kejadian serupa terulang lagi. Saya dipukul orang lagi. Saya kembali ambruk, bahkan lebih menderita daripada yang terdahulu. Lalu pendeta itu datang lagi dan menegaskan bahwa saya harus berubah dan taat beribadah. Setelah didoakan, kondisi saya bahkan semakin parah. Sambil menahan sakit saya berkata kepada diri sendiri, “Wah, doa pendeta ini sudah tidak mempan lagi rupanya!”
Pada suatu hari ketika isteri saya dan pembantu pergi, rasa sakit saya berada pada puncaknya. Saya bergulingan di lantai dan berteriak kesakitan. Lalu saya melakukan tindakan paling memalukan seumur hidup, saya menangis sejadi-jadinya. Saya berlutut, minta ampun kepada Tuhan dan berjanji untuk bersungguh-sungguh melayani Dia dan rajin beribadah. Seketika itu juga, tubuh saya terasa hangat seperti ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuh saya. Mendadak rasa nyeri di tubuh saya hilang.
Sejak itu saya bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat saya. Saya menjadi ciptaan baru, kehidupan saya yang lama telah mati. Saya mulai rajin beribadah dan aktif di gereja. Pada waktu itu rambut saya masih gondrong dan tampang saya masih sangar. Saya sempat merasa risih berada di lingkungan gereja. Saya juga merasa risih dengan cara-cara ibadah dengan bertepuk tangan dan menari-nari. Namun lama kelamaan saya menjadi terbiasa dan mulai menikmati suasana itu. Sejak itu kehidupan saya berubah. Namun ada satu hal keinginan kami yang belum tercapai, kami belum dikaruniai seorang anakpun. (Bersambung)
Diedit oleh Hadi Kristadi untuk http://pentas-kesaksian.blogspot.com