Albert sedang berkendaraan sepeda motor di sekitar Pejompongan ketika seorang pemuda bermotor menanyakan arah jalan ke Senen.
”Mau ke Senen?”
”Ya, ke arah mana ya?”
”Ya, udah, ikut saya saja karena saya juga ke arah sana. Tapi saya mau mampir dulu ke warung makan di depan sana. Ikut dulu ya?”
”Ya.”
Mereka berdua parkir motor dan masuk ke warung makan.
”Saya tunggu aja ya.” kata pemuda itu agak sungkan.
”Ayo, makan sama-sama aja.”
”Gak ah. Minum saja.”
”Memangnya sudah makan?”
”Belum.”
”Ya, kita pesan makanan aja, nanti saya yang bayar.”
”Gak usah pak. Saya minum aja.”
”Ah, gak apa-apa. Ayo, pesan makanan yang mana?”
”Bapak, orang mana sih? Saya asli Betawi dari Ciracas.”
”Oh, nama saya Albert, orang Batak, orang Kristen.”
”Nama saya Syahrul. Astagfirullah! Pak, kita ini baru kenalan, kok sudah menawari saya makan. Memang saya belum makan, abis uang Rp. 20 ribu tadi diminta polisi waktu saya kena tilang. Polisi itu sama-sama satu agama, tapi dia tega meminta uang Rp. 20 ribu yang saya punya.”
”Kan kita bersaudara?”
”Saudara? Kan baru kenal?”
”Ya, sama-sama ciptaan Tuhan, anak Adam, jadi bersaudara dong.”
”Astagfirullah, pak! Tadinya saya pikir orang Kristen dan Batak itu jahat – jahat.”
”Gak semua orang Batak 'kan?” kata Albert.
Si ibu yang menjual makananpun bilang, ”Ya, saya banyak dengar orang Batak jadi penjambret, penodong, tapi bapak ini kok mau membelikan makanan buat orang yang baru dikenalnya ya?”
”Ah, saya cuma membagi berkat dari Tuhan...”
”Tapi saya kan bukan apa-apanya bapak?”
”Kan kita saudara? Kita keluarga.”
”Astagfirullah? Keluarga, pak?”
”Ya, di dalam Tuhan, kita bersaudara, kita satu keluarga.”
”Wah, saya baru dengar, orang Kristen itu mengaku saudara kepada saya.”
Mulailah Syahrul cerita bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Senen untuk diwawancara di perusahaan jasa perparkiran. Ia menceritakan bahwa anaknya baru jatuh dan ada gumpalan darah di otaknya yang perlu dioperasi agar tidak menyebabkan kelumpuhan. Isterinya juga mengidap tumor di dekat ketiaknya, perlu dioperasi. Dalam keadaan penuh kesulitan itu, tadi di jalan ia kena tilang, uang tinggal Rp. 20 ribu diminta polisi.
Itu adalah kejadian 1 tahun lalu. Minggu lalu Albert mendapat telpon dari Syahrul.
”Pak, masih ingat saya?”
”Siapa ya?”
”Syahrul, pak!”
”Syahrul yang mana ya?”
”Ingat tidak, sekitar tahun lalu saya ditolong bapak, diberi makan waktu saya mau ke Senen.”
”Oh, iya. Syahrul, gimana kabarnya?”
”Baik-baik aja, pak. Saya sudah diterima kerja jadi petugas di konter parkir. Tapi saya mau ketemu bapak nih.”
”Ada apa lagi ya?” pikir Albert.
Ternyata setelah ketemu Syahrul hanya ingin curhat. Dia menceritakan kehidupan belakangan ini. Dia bilang dia ingin belajar ilmu kesembuhan karena dia lihat orang Kristen disembuhkan dengan tumpang tangan atau didoakan saja. Dia ingin bisa seperti itu.
Dengan membangun hubungan ternyata banyak orang yang dapat bersahabat dengan kita, kalau kita peduli dengan mereka. Benjamin Franklin, salah seorang pendiri Amerika Serikat dengan sinis pernah berkata, ”Pemadam kebakaran lebih berguna daripada gereja.” Lalu seorang hamba Tuhan pernah berkata, ”Kalau gereja lenyap dari muka bumi ini, apakah ada orang yang kehilangan?” Kita adalah terang dan garam dunia, apabila terang dan garam itu tidak berfungsi, buat apa?” Di dalam buku Mukjizat Kehidupan diingatkan betapa kita tidak boleh hidup untuk diri kita sendiri, sudah waktunya gereja dan orang-orang percaya mendengar isi hati Bapa bagi dunia ini. Banyak pesan aktual dalam buku itu yang menunjukkan bagaimana kita akan mengalami mukjizat kehidupan yang nyata. Baca buku itu agar kita tahu bahwa Tuhan akan melakukan perkara-perkara besar melalui dan di dalam kita. Itulah mukjizat kehidupan yang menanti di depan kita, agar kita mengalaminya.
Posted by : Hadi Kristadi for: http://pentas-kesaksian.blogspot.com